RIBA DALAM ISLAM : Arti, Pengertian/Definisi Riba, Makalah Riba, Hukum Riba, Dalil Riba, Jenis Riba, Macam-macam Riba (Riba Dain/Hutang, Riba Fadhl, Riba Nasi`ah/Tempo), Contoh-contoh Riba
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ – يَعْنِى ابْنَ حَازِمٍ – عَنْ أَيُّوبَ عَنِ ابْنِ أَبِى مُلَيْكَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْظَلَةَ غَسِيلِ الْمَلاَئِكَةِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « دِرْهَمُ رِباً يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً ».
Dari Hanzhalah Radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ”Satu dirham yang didapatkan dari transaksi riba lantas dimanfaatkan oleh seseorang dalam keadaan dia mengetahui bahwa itu berasal dari riba dosanya lebih ngeri dari pada berzina sebanyak tiga puluh enam kali” [HR Ahmad no 22008].
Riba
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Definisi Riba
Secara bahasa, riba berarti bertam-bah, tumbuh, tinggi, dan naik. Adapun menurut istilah syariat, para fuqaha sangat beragam dalam mendefinisikannya. Sementara definisi yang tepat haruslah bersifat jami’ mani’ (mengumpulkan dan mengeluarkan), yaitu mengumpulkan hal-hal yang termasuk di dalamnya dan mengeluarkan hal-hal yang tidak termasuk darinya.
Definisi paling ringkas dan bagus adalah yang diberikan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t dalam Syarah Bulughul Maram, bahwa makna riba adalah: “Penambahan pada dua perkara yang diharamkan dalam syariat adanya tafadhul (penambahan) antara keduanya dengan ganti (bayaran), dan adanya ta`khir (tempo) dalam menerima sesuatu yang disyaratkan qabdh (serah terima di tempat).” (Syarhul Buyu’, hal. 124)
Definisi di atas mencakup riba fadhl dan riba nasi`ah. Permasalahan ini insya Allah akan dijelaskan nanti.
Faedah penting: Setiap jual beli yang diharamkan termasuk dalam kategori riba. Dengan cara seperti ini, dapat diuraikan makna hadits Abdullah bin Mas’ud z:
“Riba itu ada 73 pintu.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi dalam Shahihul Musnad, 2/42)
Bila setiap sistem jual beli yang terlarang masuk dalam kategori riba, maka akan dengan mudah menghitung hingga bilangan tersebut. Namun bila riba itu hanya ditafsirkan sebagai sistem jual beli yang dinashkan sebagai riba atau karena ada unsur penambahan padanya, maka akan sulit mencapai bilangan di atas. Wallahu a’lam.
Madzhab ini dihikayatkan dari sekelompok ulama oleh Al-Imam Muham-mad bin Nashr Al-Marwazi t dalam kitab As-Sunnah (hal. 164). Lalu beliau berkata (hal. 173): “Menurut madzhab ini, firman Allah I:
“Dan Allah menghalalkan jual beli.” (Al-Baqarah: 275)
memiliki makna umum yang mencakup semua sistem jual beli yang tidak disebut riba. Dan setiap sistem jual beli yang diharamkan Nabi n masuk dalam firman Allah I:
“Dan Allah mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Juga dihikayatkan oleh As-Subuki dalam Takmilah Al-Majmu’, bahwa madzhab ini disandarkan kepada ‘Aisyah x dan ‘Umar bin Al-Khaththab z.
Hal ini juga diuraikan oleh Ibnu Hajar, Al-Imam Ash-Shan’ani, Al-Imam Asy-Syaukani, dan sejumlah ulama lainnya. Madzhab ini shahih dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Atsar Ibnu Mas’ud z. Beliau berkata:
“Tidak boleh ada dua akad dalam satu akad jual beli. Sesungguhnya Rasulullah n melaknat pemakan riba, yang memberi makan orang lain dengan riba, dua saksinya, dan pencatatnya.” (HR. Ibnu Hibban no. 1053, Al-Bazzar dalam Musnad-nya no. 2016 dan Al-Marwazi dalam As-Sunnah (159-161) dengan sanad hasan)
Al-Marwazi dalam Sunnah-nya (hal. 166) menyatakan: “Pada ucapan Abdullah bin Mas’ud z ini ada dalil yang menunjukkan bahwa setiap jual beli yang dilarang adalah riba.”
2. Hadits Ibnu Abbas z, bahwa Rasulullah n bersabda:
“Salaf (sistem salam) pada hablul habalah adalah riba.” (HR. An-Nasa`i dengan sanad shahih, semua perawinya tsiqah (terpercaya))
Al-Imam As-Sindi dalam Hasyiyatun Nasa‘i (7/313, cetakan Darul Fikr) menjelaskan: “Sistem salaf (salam) dalam hablul habalah adalah sang pembeli menyerahkan uang (harga barang) kepada seseorang yang mempunyai unta bunting. Sang pembeli berkata: ‘Bila unta ini melahirkan kemudian yang ada di dalam perutnya (janin) telah melahirkan (pula), maka aku beli anaknya darimu dengan harga ini.’ Muamalah seperti ini diserupakan dengan riba sebab hukumnya haram seperti riba, dipandang dari sisi bahwa ini adalah menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh si penjual dan dia tidak mampu untuk menyerahkan barang tersebut. Sehingga ada unsur gharar (penipuan) padanya.”
Hukum Riba
Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan termasuk dosa besar, dengan dasar Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Juga dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (Al-Baqarah: 278-279)
Dalil dari As-Sunnah di antaranya:
a. Hadits Abu Hurairah z:
“Jauhilah tujuh perkara yang menghan-curkan –di antaranya– memakan riba.” (Muttafaqun ‘alaih)
b. Hadits Abu Juhaifah z riwayat Al-Bukhari:
“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”(HR. Al-Bukhari)
Dalam hadits Jabir z yang diriwayatkan Al-Imam Muslim, yang dilaknat adalah pemakan riba, pemberi makan orang lain dengan riba, penulis dan dua saksinya, lalu Nabi n menyatakan:
“Mereka itu sama.”
Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar. Keadaan-nya seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah t sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yang disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”
Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi t dan An-Nawawi t dalam Al-Majmu’ (9/294, cetakan Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi).
Faedah: Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram di negara Islam secara mutlak, antara muslim dengan muslim, muslim dengan kafir dzimmi, muslim dengan kafir harbi.
Mereka berbeda pendapat tentang riba yang terjadi di negeri kafir antara muslim dengan kafir. Pendapat yang rajih tanpa ada keraguan lagi adalah pendapat jumhur yang menyatakan keharamannya secara mutlak dengan keumuman dalil yang tersebut di atas. Yang menyelisihi adalah Abu Hanifah dan dalil yang dipakai adalah lemah. Wallahu a’lam.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang riba yang terjadi antara orang kafir dengan orang kafir lainnya. Pendapat yang rajih adalah bahwa hal tersebut juga diharamkan atas mereka, sebab orang-orang kafir juga dipanggil untuk melaksanakan hukum-hukum syariat Islam, sebagaimana yang dirajihkan oleh jumhur ulama. Wallahul muwaffiq.
Barang-barang yang Terkena Hukum Riba
Dari Abu Sa’id Al-Khudri z, bahwa Rasulullah n bersabda:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam harus sama (timbangannya), serah terima di tempat (tangan dengan tangan). Barangsiapa menambah atau minta tambah maka dia terjatuh dalam riba, yang meng-ambil dan yang memberi dalam hal ini adalah sama.” (HR. Muslim)
Demikian pula hadits ‘Umar z yang muttafaq ‘alaih dan hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit dalam riwayat Muslim hanya menyebutkan 6 jenis barang yang terkena hukum riba, yaitu:
1. Emas
2. Perak
3. Burr (suatu jenis gandum)
4. Sya’ir (suatu jenis gandum)
5. Kurma
6. Garam
Para ulama berbeda pendapat, apakah barang yang terkena riba hanya terbatas pada enam jenis di atas, ataukah barang-barang lain bisa diqiyaskan dengannya?
Untuk mengetahui lebih detail masalah ini, perlu diklasifikasikan pemba-hasan para ulama menjadi dua bagian:
Pertama: kurma, garam, burr, dan sya’ir.
Para ulama berbeda pendapat sebagai berikut:
1. Pendapat Zhahiriyyah, Qatadah, Thawus, ‘Utsman Al-Buthi, dan dihikayat-kan dari Masruq dan Asy-Syafi’i, juga dihikayatkan oleh An-Nawawi dari Syi’ah dan Al-Kasani. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Aqil Al-Hambali, dikuatkan oleh Ash-Shan’ani dan beliau sandarkan kepada sejumlah ulama peneliti. Dan ini adalah dzahir pembahasan Asy-Syaukani dalam Wablul Ghamam dan As-Sail, serta pendapat ini yang dipilih oleh Asy-Syaikh Muqbil t, Syaikhuna Yahya Al-Hajuri, Syaikhuna Abdurrahman Al-’Adani, dan para masyayikh Yaman lainnya; bahwa riba hanya terjadi pada enam jenis barang ini dan tidak dapat diqiyaskan dengan yang lainnya.
2. Pendapat jumhur ulama, bahwa barang-barang lain dapat diqiyaskan dengan enam barang di atas, bila ‘illat (sebab hukumnya) sama.
Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai batasan ‘illat-nya sebagai berikut:
a. An-Nakha’i, Az-Zuhri, Ats-Tsauri, Ishaq bin Rahawaih, Al-Hanafiyyah dan pendapat yang masyhur di madzhab Hanabilah bahwa riba itu berlaku pada barang yang ditakar dan atau ditimbang, baik itu sesuatu yang dimakan seperti biji-bijian, gula, lemak, ataupun tidak dimakan seperti besi, kuningan, tembaga, platina, dsb. Adapun segala sesuatu yang tidak ditimbang atau ditakar maka tidak berlaku hukum riba padanya, seperti buah-buahan karena ia diperjualbelikan dengan sistem bijian.
Sehingga menurut mereka, tidak boleh jual beli besi dengan besi secara tafadhul (beda timbangan), sebab besi termasuk barang yang ditimbang. Menurut mereka, boleh jual beli 1 pena dengan 2 pena, sebab pena tidak termasuk barang yang ditimbang atau ditakar. Mereka berdalil dengan lafadz yang tersebut dalam sebagian riwayat:
“Kecuali timbangan dengan tim-bangan… kecuali takaran dengan takaran.”
b. Pendapat terbaru Asy-Syafi’i, juga disandarkan oleh An-Nawawi kepada Ahmad bin Hambal, Ibnul Mundzir, dan yang lainnya, bahwa riba itu berlaku pada semua yang dimakan dan yang diminum, baik itu yang ditimbang/ditakar maupun tidak. Menurut mereka, tidak boleh menjual 1 jeruk dengan 2 jeruk, 1 kg daging dengan 1,5 kg daging. Semua itu termasuk barang yang dimakan. Juga tidak boleh menjual satu gelas jus jeruk dengan dua gelas jus jeruk, sebab itu termasuk barang yang diminum.
c. Pendapat Malik bin Anas t dan dirajihkan oleh Ibnul Qayyim t, bahwa riba berlaku pada makanan pokok yang dapat disimpan.
d. Pendapat Az-Zuhri dan sejumlah ulama, bahwa riba berlaku pada barang-barang yang warna dan rasanya sama dengan kurma, garam, burr, dan sya’ir.
e. Pendapat Rabi’ah, bahwa riba berlaku pada barang-barang yang dizakati.
f. Pendapat Sa’id bin Al-Musayyib, Asy-Syafi’i dalam pendapat lamanya, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, wakilnya Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, anggota: Asy-Syaikh Shalih Fauzan, Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, mereka berpendapat bahwa riba berlaku pada setiap barang yang dimakan dan diminum yang ditakar atau ditimbang.
Sehingga segala sesuatu yang tidak ditakar atau ditimbang, tidak berlaku hukum riba padanya. Begitu pula segala sesuatu yang dimakan dan diminum namun tidak ditimbang atau ditakar, maka tidak berlaku hukum riba padanya.
Yang rajih –wallahu a’lam– adalah pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham dengan mereka yaitu bahwa tidak ada qiyas dalam hal ini, dengan argu-mentasi sebagai berikut:
1. Hadits-hadits yang tersebut dalam masalah ini, yang menyebutkan hanya enam jenis barang saja.
2. Kembali kepada hukum asal. Hukum asal jual beli adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Allah I berfirman:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Sementara yang dikecualikan dalam hadits hanya enam barang saja.
3. ‘Illat yang disebutkan oleh jumhur tidak disebutkan secara nash dalam sebuah dalil. ‘Illat-’illat tersebut hanyalah hasil istinbath melalui cara ijtihad. Oleh sebab itulah, mereka sendiri berbeda pendapat dalam menentukan batasan-batasannya.
“Kalau kiranya bukan dari sisi Allah tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa`: 82)
Untuk itulah kita tetap berpegang dan merujuk kepada dzahir hadits. Wallahul muwaffiq.
Adapun mereka yang beralasan dengan lafadz (takaran dengan takaran) dan (timbangan dengan timbangan) yang tersebut dalam sebagian riwayat, maka jawabannya adalah bahwa hadits tersebut dibawa pada pengertian yang ditimbang adalah emas dan perak, bukan barang yang lain, dalam rangka mengompromikan dalil-dalil yang ada.
Atau dengan bahasa lain, yang dimaksud dengan lafadz-lafadz di atas adalah kesamaan pada sisi timbangan pada barang-barang yang terkena hukum riba yang tersebut dalam hadits-hadits lain. Wallahu a’lam.
Adapun pengertian sha’ atau takaran atau hitungan (bijian) pada sebagian riwayat, maka dijawab oleh Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani, yang kesimpulannya adalah bahwa penyebutan hal-hal di atas hanyalah untuk menunjukkan kesamaan dari sisi takaran atau timbangan pada barang-barang yang terkena hukum riba yang disebut dalam hadits-hadits lain. Wallahu a’lam.
Adapun masalah muzabanah1 yang dijadikan dalil oleh jumhur, maka jawabannya adalah sebagai berikut:
1. Asy-Syaikh Muqbil t ditanya tentang masalah ini, beliau menjawab: “Tidak masalah kalau anggur termasuk barang yang terkena riba.”
2. Jawaban Ibnu Rusyd t: “Muza-banah masuk dalam bab riba dari satu sisi dan masuk dalam bab gharar dari sisi yang lain. Pada barang-barang yang terkena riba maka masuk pada bab riba dan gharar sekaligus. Namun pada barang-barang yang tidak terkena riba maka dia masuk pada sisi gharar saja. Wallahul musta’an.”
Kedua: Emas dan perak
Para ulama berbeda pendapat tentang ‘illat (sebab) emas dan perak dimasukkan sebagai barang riba.
1. Pendapat Azh-Zhahiriyyah dan yang sepaham dengan mereka, berpendapat bahwa perkaranya adalah ta’abuddi tauqifi, yakni demikianlah yang disebut dalam hadits, ‘illat-nya adalah bahwa dia itu emas dan perak.
Atas dasar ini, maka riba berlaku pada emas dan perak secara mutlak, baik itu dijadikan sebagai alat bayar (tsaman) untuk barang lain maupun tidak. Pendapat ini dipegangi oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t dalam sebagian karyanya.
2. Pendapat Al-Hanafiyah dan yang masyhur dari madzhab Hanabilah, bahwa ‘illat-nya adalah karena emas dan perak termasuk barang yang ditimbang. Sehingga setiap barang yang ditimbang seperti kuningan, platina, dan yang semisalnya termasuk barang yang terkena riba, yaitu diqiyaskan dengan emas dan perak.
Namun pendapat ini terbantah dengan kenyataan adanya ijma’ ulama yang membolehkan adanya sistem salam2 pada barang-barang yang ditimbang. Seandainya setiap barang yang ditimbang terkena riba, niscaya tidak diperbolehkan sistem salam padanya.
3. Pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan satu riwayat dari Ahmad, bahwa ‘illat-nya adalah tsamaniyyah (sebagai alat bayar) untuk barang-barang lainnya. Namun menurut mereka, ‘illat ini khusus pada emas dan perak saja, tidak masuk pada barang yang lainnya.
Yang rajih, wallahu a’lam, adalah pendapat pertama dan tidak bertentangan dengan pendapat ketiga. Sebab, yang ketiga termasuk pada pendapat pertama, wallahu a’lam. Dalilnya adalah hadits Fudhalah bin Ubaid z tentang jual beli kalung emas. Wallahu a’lam.
Mata Uang Kertas
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini: apakah mata uang kertas sekarang yang dijadikan alat bayar resmi terkena riba fadhl dan riba nasi`ah? Pendapat yang rajih insya Allah adalah bahwa mata uang kertas adalah sesuatu yang berdiri sendiri sebagai naqd seperti emas dan perak. Sehingga mata uang kertas itu berjenis-jenis, sesuai dengan perbedaan jenis pihak yang mengeluarkannya.
Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, mayoritas Ha`iah Kibarul Ulama. Dan ini yang kebanyakan dipilih oleh seminar-seminar fiqih internasional semacam Rabithah ‘Alam Islami, dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi. Dan inilah fatwa ulama kontemporer.
Mereka mengatakan bahwa mata uang kertas disamakan dengan emas dan perak karena hampir mirip (serupa) dengan ‘illat tsamaniyyah (sebagai alat bayar) yang ada pada emas dan perak.
Mata uang kertas sekarang berfungsi sebagai alat bayar untuk barang-barang lain, sebagai harta benda, transaksi jual beli, pembayaran hutang piutang dan perkara-perkara yang dengan dasar itu riba diharamkan pada emas dan perak.
Atas dasar pendapat di atas, maka ada beberapa hukum syar’i yang perlu diperhatikan berkaitan dengan masalah ini. Disebutkan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (13/442-444) diketuai Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, anggota Asy-Syaikh Abdur-razaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud, sebagai berikut:
1. Terjadi dua jenis riba (fadhl dan nasi`ah) pada mata uang kertas sebagai-mana yang terjadi pada emas dan perak.
2. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang sama atau dengan jenis mata uang yang lain secara nasi`ah (tempo) secara mutlak. Misal, tidak boleh menjual 1 dolar dengan 5 real Saudi secara nasi`ah (tempo).
3. Tidak boleh menjual satu jenis mata uang dengan jenis yang sama secara fadhl (selisih nominal), baik secara tempo maupun serah terima di tempat. Misalnya, tidak boleh menjual Rp. 1000 dengan Rp. 1.100.
4. Dibolehkan menjual satu jenis mata uang dengan jenis mata uang yang berbeda secara mutlak, dengan syarat serah terima di tempat. Misal, menjual 1 dolar dengan Rp. 10.000.
5. Wajib mengeluarkan zakatnya bila mencapai nishab dan satu haul. Nishabnya adalah nishab perak.
6. Boleh dijadikan modal dalam syirkah atau sistem salam.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
1 Muzabanah yaitu membeli burr yang masih di pohonnya dengan burr yang sudah dipanen, atau membeli anggur yang masih di pohonnya dengan zabib (anggur kering/ kismis). (ed)
2 Sistem salam: seseorang menyerahkan uang pembayaran di muka dalam majelis akad untuk membeli suatu barang yang diketahui sifatnya, tidak ada unsur gharar padanya, dengan jumlah yang diketahui, takaran/timbangan yang diketahui, dan waktu penyerahan yang diketahui.
Riba Hutang Piutang
Tanya: Assalamu alaikum. Afwan apakah dibolehkan muamalah seperti ini: Si A meminjam uang kepada si B sebanyak 1 juta rupiah dengan perjanjian nanti dia harus melunasinya dalam bentuk batu bata sebanyak 4000 buah (jadi Rp. 250,-/bata) padahal harga bata ketika itu adalah Rp. 400,-/bata. Sehingga si B bisa menjual bata tersebut dengan harga bata ketika itu?
Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullah.
Yang nampak muamalah seperti ini tidak boleh karena pada hakikatnya muamalah ini adalah riba dalam hutang piutang. Hakikatnya si A meminjam uang 1 juta dan harus dia kembalikan 1.6 juta, walaupun si B melakukan hilah (tipuan) dengan memasukkan masalah batu bata di antaranya. Wallahu a’lam.
Macam-macam Riba
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Mengembalikan uang yang dipinjam dengan jumlah lebih banyak, inilah bentuk riba yang sering kita lihat di sekitar kita. Ternyata tidak hanya ini bentuk riba. Ada beberapa macam lagi bentuk riba dan bisa terjadi dalam beberapa transaksi. Apa saja itu?
Untuk memperjelas pembahasan riba, perlu disebutkan secara detail tentang pembagian riba, masalah-masalah yang terkait dengannya, dan perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini.
Riba ada beberapa macam:
Riba Dain (Riba dalam Hutang Piutang)
Riba ini disebut juga dengan riba jahiliyah, sebab riba jenis inilah yang terjadi pada jaman jahiliyah.
Riba ini ada dua bentuk:
a. Penambahan harta sebagai denda dari penambahan tempo (bayar hutangnya atau tambah nominalnya dengan mundur-nya tempo).
Misal: Si A hutang Rp 1 juta kepada si B dengan tempo 1 bulan. Saat jatuh tempo si B berkata: “Bayar hutangmu.” Si A menjawab: “Aku tidak punya uang. Beri saya tempo 1 bulan lagi dan hutang saya menjadi Rp 1.100.000.” Demikian seterusnya.
Sistem ini disebut dengan riba mudha’afah (melipatgandakan uang).Allah I berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)
b. Pinjaman dengan bunga yang dipersyaratkan di awal akad
Misalnya: Si A hendak berhutang kepada si B. Maka si B berkata di awal akad: “Saya hutangi kamu Rp 1 juta dengan tempo satu bulan, dengan pembayaran Rp 1.100.000.”
Riba jahiliyah jenis ini adalah riba yang paling besar dosanya dan sangat tampak kerusakannya. Riba jenis ini yang sering terjadi pada bank-bank dengan sistem konvensional yang terkenal di kalangan masyarakat dengan istilah “menganakkan uang.” Wallahul musta’an.
Faedah penting:
Termasuk riba dalam jenis ini adalah riba qardh (riba dalam pinjam meminjam). Gambarannya, seseorang meminjamkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat mengembalikan dengan yang lebih baik atau lebih banyak jumlahnya.
Misal: Seseorang meminjamkan pena seharga Rp. 1000 dengan syarat akan mengembalikan dengan pena yang seharga Rp. 5000. Atau meminjamkan uang seharga Rp 100.000 dan akan dikembalikan Rp 110.000 saat jatuh tempo.
Ringkasnya, setiap pinjam meminjam yang mendatangkan keuntungan adalah riba, dengan argumentasi sebagai berikut:
1. Hadits ‘Ali bin Abi Thalib z:
“Setiap pinjaman yang membawa keuntungan adalah riba.”
Hadits ini dha’if. Dalam sanadnya ada Sawwar bin Mush’ab, dia ini matruk (ditinggalkan haditsnya). Lihat Irwa`ul Ghalil (5/235-236 no. 1398).
Namun para ulama sepakat sebagai-mana yang dinukil oleh Ibnu Hazm, Ibnu Abdil Barr dan para ulama lain, bahwa setiap pinjam meminjam yang di dalamnya dipersyaratkan sebuah keuntungan atau penambahan kriteria (kualitas) atau penam-bahan nominal (kuantitas) termasuk riba.
2. Tindakan tersebut termasuk riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya dan termasuk riba yang diharamkan berdasarkan Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
3. Pinjaman yang dipersyaratkan adanya keuntungan sangat bertentangan dengan maksud dan tujuan mulia dari pinjam meminjam yang Islami yaitu membantu, mengasihi, dan berbuat baik kepada saudaranya yang membutuhkan pertolongan. Pinjaman itu berubah menjadi jual beli yang mencekik orang lain. Meminjami orang lain Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000 sama dengan membeli Rp. 10.000 dibayar Rp. 11.000.
Ada beberapa kasus yang masuk pada kaidah ini, di antaranya:
a. Misalkan seseorang berhutang kepada syirkah (koperasi) Rp 10.000.000 dengan bunga 0% (tanpa bunga) dengan tempo 1 tahun. Namun pihak syirkah mengatakan: “Bila jatuh tempo namun hutang belum terlunasi, maka setiap bulannya akan dikenai denda 5%.”
Akad ini adalah riba jahiliyah yang telah lewat penyebutannya. Dan cukup banyak syirkah (koperasi) atau yayasan yang menerapkan praktik semacam ini.
b. Meminjami seseorang sejumlah uang tanpa bunga untuk modal usaha dengan syarat pihak yang meminjami mendapat prosentase dari laba usaha dan hutang tetap dikembalikan secara utuh.
Modus lain yang mirip adalah membe-rikan sejumlah uang kepada seseorang untuk modal usaha dengan syarat setiap bulannya dia (yang punya uang) mendapatkan –misalnya– Rp 1 juta, baik usahanya untung atau rugi.
Sistem ini yang banyak terjadi pada koperasi, BMT, bahkan bank-bank syariah pun menerapkan sistem ini dengan istilah mudharabah (bagi hasil).
Mudharabah yang syar’i adalah: Misalkan seseorang memberikan modal Rp. 10 juta untuk modal usaha dengan ketentuan pemodal mendapatkan 50% atau 40% atau 30% (sesuai kesepakatan) dari laba hasil usaha. Bila menghasilkan laba maka dia mendapatkannya, dan bila ternyata rugi maka kerugian itu ditanggung bersama (loss and profit sharing). Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah n dengan orang Yahudi Khaibar. Wallahul muwaffiq.
Adapun transaksi yang dilakukan oleh mereka, pada hakekatnya adalah riba dain/qardh ala jahiliyah yang dikemas dengan baju indah nan Islami bernama mudharabah. Wallahul musta’an.
c. Mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan
Misal: Si A meminjam uang Rp 10 juta kepada si B (pegadaian) dengan mengga-daikan sawahnya seluas 0,5 ha. Lalu pihak pegadaian memanfaatkan sawah tersebut, mengambil hasilnya, dan apa yang ada di dalamnya sampai si A bisa mengembalikan hutangnya. Tindakan tersebut termasuk riba, namun dikecualikan dalam dua hal:
1. Bila barang yang digadaikan itu perlu pemeliharaan atau biaya, maka barang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai ganti pembiayaan. Misalnya yang digadaikan adalah seekor sapi dan pihak pegadaian harus mengeluarkan biaya untuk pemeliha-raan. Maka pihak pegadaian boleh meme-rah susu dari sapi tersebut sebagai ganti biaya perawatan. Dalilnya hadits riwayat Al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
“Kendaraan yang tergadai boleh dinaiki (sebagai ganti) nafkahnya, dan susu hewan yang tergadai dapat diminum (sebagai ganti) nafkahnya.”
2. Tanah sawah yang digadai akan mengalami kerusakan bila tidak ditanami, maka pihak pegadaian bisa melakukan sistem mudharabah syar’i dengan pemilik tanah sesuai kesepakatan yang umum berlaku di kalangan masyarakat setempat tanpa ada rasa sungkan. Misalnya yang biasa berlaku adalah 50%. Bila sawah yang ditanami pihak pegadaian tadi menghasil-kan, maka pemilik tanah dapat 50%. Namun bila si pemilik tanah merasa tidak enak karena dihutangi lalu dia hanya mengambil 25% saja, maka ini tidak diperbolehkan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Riba Fadhl
Definisinya adalah adanya tafadhul (selisih timbangan) pada dua perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul (kesamaan timbangan/ukuran) padanya.
Riba jenis ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba khafi (samar), sebab riba ini merupakan pintu menuju riba nasi`ah.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum riba fadhl. Yang rajih tanpa keraguan lagi adalah pendapat jumhur ulama bahwa riba fadhl adalah haram dengan dalil yang sangat banyak. Di antaranya:
1. Hadits ‘Utsman bin ‘Affan z riwayat Muslim:
“Jangan kalian menjual satu dinar dengan dua dinar, jangan pula satu dirham dengan dua dirham.”
Juga hadits-hadits yang semakna dengan itu, di antaranya:
a. Hadits Abu Sa’id z yang muttafaq ‘alaih.
b. Hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit z riwayat Muslim.
Juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Sa’d bin Abi Waqqash, Abu Bakrah, Ma’mar bin Abdillah dan lain-lain, yang menjelaskan tentang keharaman riba fadhl, tersebut dalam Ash-Shahihain atau salah satunya.
Adapun dalil pihak yang membolehkan adalah hadits Usamah bin Zaid z:
“Sesungguhnya riba itu hanya pada nasi`ah (tempo).”
Maka ada beberapa jawaban, di antaranya:
a. Makna hadits ini adalah tidak ada riba yang lebih keras keharamannya dan diancam dengan hukuman keras kecuali riba nasi`ah. Sehingga yang ditiadakan adalah kesempurnaan, bukan wajud asal riba.
b. Hadits tersebut dibawa kepada pengertian: Bila jenisnya berbeda, maka diperbolehkan tafadhul (selisih timbangan) dan diharamkan adanya nasi`ah.
Ini adalah jawaban Al-Imam Asy-Syafi’i, disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari gurunya, Sulaiman bin Harb. Jawaban ini pula yang dirajihkan oleh Al-Imam Ath-Thabari, Al-Imam Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Qudamah, dan sejumlah ulama besar lainnya.
Jawaban inilah yang mengompromi-kan antara hadits yang dzahirnya berten-tangan. Wallahul muwaffiq.
Riba Nasi`ah (Tempo)
Yaitu adanya tempo pada perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya taqabudh (serah terima di tempat).
Riba ini diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan riba jali (jelas) dan para ulama sepakat tentang keharaman riba jenis ini dengan dasar hadits Usamah bin Zaid di atas. Banyak ulama yang membawakan adanya kesepakatan akan haramnya riba jenis ini.
Riba fadhl dan riba nasi`ah diistilahkan oleh para fuqaha dengan riba bai’ (riba jual beli).
Kaidah Seputar Dua Jenis Riba
1. Perkara yang diwajibkan secara syar’i adanya tamatsul, maka tidak boleh ada unsur tafadhul padanya, sebab bisa terjatuh pada riba fadhl. Misal: Tidak boleh menjual 1 dinar dengan 2 dinar, atau 1 kg kurma dengan 1,5 kg kurma.
2. Perkara yang diwajibkan adanya tamatsul maka diharamkan adanya nasi`ah (tempo), sebab bisa terjatuh pada riba nasi`ah dan fadhl, bila barangnya satu jenis. Misal: Tidak boleh menjual emas dengan emas secara tafadhul, demikian pula tidak boleh ada unsur nasi`ah.
3. Bila barangnya dari jenis yang berbeda maka disyaratkan taqabudh (serah terima di tempat) saja, yakni boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah. Misalnya, menjual emas dengan perak, atau kurma dengan garam. Transaksi ini boleh tafadhul namun tidak boleh nasi`ah.
Ringkasnya:
a. Beli emas dengan emas secara tafadhul berarti terjadi riba fadhl.
b. Beli emas dengan emas secara tamatsul namun dengan nasi`ah (tempo), maka terjadi riba nasi`ah.
c. Beli emas dengan emas secara tafadhul dan nasi`ah, maka terjadi kedua jenis riba yaitu fadhl dan nasi`ah.
Hal ini berlaku pada barang yang sejenis. Adapun yang berbeda jenis hanya terjadi riba nasi`ah saja, sebab tidak disyaratkan tamatsul namun hanya disyaratkan taqabudh. Wallahu a’lam.
Untuk lebih memahami masalah ini, kita perlu menglasifikasikan barang-barang yang terkena riba yaitu emas, perak (masuk di sini mata uang), kurma, burr (gandum), sya’ir dan garam menjadi dua bagian:
Bagian pertama: emas, perak (dan mata uang masuk di sini).
Bagian kedua: kurma, burr, sya’ir, dan garam.
Keterangannya:
1. Masing-masing dari keenam barang di atas disebut satu jenis; jenis emas, jenis perak, jenis mata uang, jenis kurma, demikian seterusnya. Kaidahnya: bila jual beli barang sejenis, misal emas dengan emas, kurma dengan kurma dst, maka diwajibkan adanya dua hal: tamatsul dan taqabudh.
2. Jual beli lain jenis pada bagian pertama atau bagian kedua, hanya disyaratkan taqabudh dan boleh tafadhul.
Misalnya, emas dengan perak atau sebaliknya, emas dengan mata uang atau sebaliknya, perak dengan mata uang atau sebaliknya. Ini untuk bagian pertama.
Misal untuk bagian kedua: Kurma dengan burr atau sebaliknya, sya’ir dengan garam atau sebaliknya, kurma dengan sya’ir, kurma dengan garam atau sebaliknya.
Dalil dua keterangan ini adalah hadits ‘Ubadah bin Ash-Shamit z, yang diriwayatkan oleh Muslim (no. 1587). Rasulullah n bersabda:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, burr dengan burr, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus semisal dengan semisal (tamatsul), tangan dengan tangan (taqabudh). Namun bila jenis-jenis ini berbeda, maka juallah terserah kalian (dengan syarat) bila tangan dengan tangan (kontan).”
3. Jual beli bagian pertama dengan bagian kedua atau sebaliknya, diperbo-lehkan tafadhul dan nasi`ah (tempo).
Misalnya membeli garam dengan uang, kurma dengan uang, dan seterusnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang dinukil oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Nashr Al-Maqdisi, Al-Imam An-Nawawi, dan sejumlah ulama lain. Dalil mereka adalah sistem salam, yaitu menye-rahkan uang di awal akad untuk barang tertentu, dengan sifat tertentu, dengan timbangan tertentu dan diserahkan pada tempo tertentu.
Telah maklum bahwa alat bayar masa itu adalah dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak), dan barang yang sering diminta adalah kurma atau sya’ir atau burr (jenis barang yang terkena hukum riba).
Di antara dalilnya juga adalah hadits ‘Aisyah x:
“Bahwasanya Nabi n membeli makanan dari seorang Yahudi dan mengga-daikan baju perang dari besi kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Makanan yang Nabi n beli di sini adalah sya’ir (termasuk jenis yang terkena hukum riba) seba-gaimana lafadz lain dari riwayat di atas, dalam keadaan beliau tidak punya uang (yang waktu itu berupa emas atau perak). Beliau mengambil barang itu secara tempo dengan menggadaikan baju besinya. Wallahu a’lam.
Maraji’:
1. Syarhul Buyu’, hal. 124 dst
2. Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, juz 13, 14 dan 15
3. Hasyiyah As-Sindi ‘ala Sunan An-Nasa`i
4. As-Sunnah karya Al-Marwazi
Sumber : Majalah AsySyariah Edisi 028
Tidak ada komentar:
Posting Komentar