MEMBELA HIZBIYYAH MUBTADI’AH
MENOLAK TAHDZIR ULAMA SUNNAH
Ditulis oleh: Robi’ bin Hadi Umair Al-Madkholi
-semoga Alloh menjaganya-
29 Robi’ul Akhir 1433 H.
Alih Bahasa: Al-Faqiir ila rohmati robbihi,
Abul Mundzir Mujahid bin Rosyid bin Tiro Al-Bugisi-semoga Alloh memaafkannya-
24 shafar 1434 H
www.isnad.net
-semoga Alloh menjaganya-
29 Robi’ul Akhir 1433 H.
Alih Bahasa: Al-Faqiir ila rohmati robbihi,
Abul Mundzir Mujahid bin Rosyid bin Tiro Al-Bugisi-semoga Alloh memaafkannya-
24 shafar 1434 H
www.isnad.net
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد:
Kita-sama-sama mengetahui bahwa pembelaan terhadap pelaku kejahatan bukanlah perkara yang dibenarkan secara agama maupun norma kesusilaan. Maka bagaimana jika kejahatan tersebut dilakukan pada perkara yang sangat agung, perkara agama Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang tak lain kejahatan tersebut berupa kesyirikan, bid’ah dan hizbiyyah.
Meski banyak orang yang lalai dalam masalah ini, namun –walhamdulillah- seorang salafy – ahlussunnah– tidaklah termasuk ke dalam barisan orang-orang yang lalai tersebut. Akan tetapi mungkin tak jarang di antara ahlussunnah yang tidak begitu mencermati modus pembelaan terhadap pelaku kebatilan. Karena itu –insyalloh- akan diuraikan modus terbesar yang ditempuh para pembela kriminil tersebut, yaitu penolakan penjelasan dari seorang alim atas pelaku kebatilan, dengan alasan bahwa alim itu sendirian atau segelintir saja, sementara para ulama yang lain tidak “berkomentar” sama, dengan kata lain modus ini dikenal dengan “penolakan khobar ahad”. Dengan langkah ini mereka tidak menerima khabar bahwa seseorang telah menjadi seorang mubtadi’ sebelum dia membuktikan dengan mata kepalanya sendiri.
Memang masalah pengkafiran, pembid’ahan atau penghukuman seseorang sebagai orang yang fasik, memiliki aturan-aturan yang menuntun kapan seseorang bisa memiliki kewenangan di dalamnya. Akan tetapi ketika datang khabar tersebut datang dari seseorang yang telah memenuhi kriteria sebagai orang yang layak berbicara dalam bidang ini -sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab ilmu hadits- dan dia telah datang dengan bukti-bukti, maka tidak ada alasan untuk menolaknya, kecuali dengan membuktikan bahwa bukti adalah dusta atau orang yang dihukumi tersebut telah tobat dari kesalahannya[1]. Karena jika datang berita tersebut dari orang yang berhak, bahwa “si fulan adalah mubtadi’”, maknanya alim itu memberi tahu bahwa si fulan telah jatuh ke dalam perbuatan bid’ah dibangun di atas tujuan dan kesengajaan, dan tidak ditemukan udzur baginya baik berupa kebodohan, takwil dll
Penjelasan berikut ini, merupakan terjemahan dari salah satu tulisan Syaikh Robi’ –hafizhohulloh- yang berjudul “Al-Halaby Yuashshil min Qobli Tsalatsina ‘Aaman Ushulan Dhidda Manhajis Salaf fil Jarh wat Ta’dil” (Al-Halabi menetapkan kaidah-kaidah baru menyelisihi manhaj salaf dalam bidang jarh wa ta’dil semenjak tiga puluh tahun yang lalu) menjelaskan syubhat seputar modus tersebut, beliau –hafizhohulloh- berkata:
Segala puji bagi Alloh serta shalawat dan salam atas Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam- beserta keluarga, para sahabat dan siapa saja yang mengikuti petunjuk beliau. Amma ba’du:
Telah sampai kepada saya perkataan Ali Al-Halabi yang tersebar pada situs yang dinamainya dengan penamaan yang menipu ‘kullus-salafiyyin’ (semua salafi). Judul tulisannya: “Taqriril-wadhih al-mustabin li-ushul ‘ilmil-jarh wat-ta’dil –al-amin- wifqo qowa’idil-a’immah wal-muhadditsin qobla sanawat tsalatsin!”(Penetapan saya jelas dan lugas mengenai kaidah ilmu jarh wa ta’dil -yang terpercaya - sesuai dengan kaidah-kaidah para ulama dan ahli hadits sejak tiga puluh tahun yang lalu!)”
Saya melihat bahwa merupakan suatu keharusan untuk memberikan catatan serta komentar atas tulisan tersebut dan penjelasan terhadap apa yang tersurat maupun tersirat di dalamnya. Hanya kepada Alloh semata saya memohon pertolongan, petunjuk dan kebenaran.
Perkataan Al-Halabi: “Kemudian datanglah pada hari ini, sebagian ‘ikhwan kita’ yang ekstrim dan para mutarobbishin (penunggu kesempatan untuk menyerang) -hadahumullohu robbul ‘alamin- hendak menisbatkan kepadaku- sebagai wujud permusuhan dan kedustaan- yang dibangun di atas suatu ucapan yang saya sampaikan dalam suatu majelis ilmu dan mereka salah dalam memahaminya, serta perkataanku yang mereka sebar-sebarkan sebelum dimengerti, bahwasanya aku menolak dalil-dalil Al-Kitab dan As-Sunnah mengenai ilmu jarh wa ta’dil!! Ini semua adalah kebatilan yang diada-adakan, tidak pernah terbetik dalam pikiranku juga tak pernah terbayang dalam khayalanku!!”
Saya (Syaikh Robi’) katakan:
- Hendaknya kamu bertakwa kepada Alloh -jika benar-benar kamu takut kepada-Nya dan sementara aku tidak menyangka demikian- dari sikap mempermain-mainkan, menuduh orang yang jujur sebagai pendusta dan sebagai kelompok yang ekstrim. Kamu telah mengatakan dengan ucapan dan suaramu sendiri: “Ilmu jarh wa ta’dil itu tidaklah mempunyai dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah.” Kamu sendiri mengakui hal tersebut di hadapan Robi’ dan selainnya. Kemudian kamu mengatakan dengan meremehkan permasalahan yang penting ini: “Itu hanyalah kekeliruan dalam lafadz (tutur kata).” Maka Robi memberitahumu: “Bahkan itu kesalahan secara hakikatnya.” Kamu pun bersikeras mengatakan itu kekeliruan dalam lafadz saja.
- Betapa banyak kamu telah membuat kerancuan dalam masalah jarh mufassar (kritikan terperinci) dan masalah berita dari seorang yang tsiqoh (terpercaya).
- Apakah ada -demi memerangi orang yang mentabdi’ (menghukumi itu sebagai mubtadi) para penyeru kepada bid’ah- selain dari kamu yang mengatakan: ”Kemudian sikap keumuman penuntut ilmu adalah tatkala ahlul ilmi bersepakat dalam menghukumi bid’ah pada seseorang adalah tidak ada toleransi bagi mereka untuk menyelisihi kesepakatan tersebut.”
Maka kamu syaratkan adanya ijma’ (kesepakatan) ahlul ilmi sebelum menerima jarh tersebut. Siapakah yang mendahuluimu dalam persyaratan tersebut, wahai orang yang suka mengada-ada?!
- Apakah ada orang selain kamu yang mensyaratkan harus ada kesepakatan ulama dalam menghukumi lafadz gutsa’iyah (bagaikan buih) sebagai suatu celaan?! Kalimat yang menjijikkan yang dilontarkan oleh teman-temanmu terhadap sahabat Rosululloh -shollollohu ‘alaihi wa sallam-. Maka siapakah gerangan yang mendahuluimu dalam membuat persyaratan yang termasuk mukabarah (penentangan), tamyi’ (sikap kurang tegas atau lembek) dan tadhyi’ (penelantaran)??
Apakah ini dan itu merupakan hasil penetapan kaidah bagi keumuman kaidah para ahli hadits ataukah hal itu hanyalah upaya permusuhan atau penghancuran kaidah-kaidah para ahli hadits?!
Bersamaan dengan penghancuran dan sikap mempermainkan yang kau dakwakan itu sekarang berarti kamu telah menetapkan kaidah-kaidah dalam ilmu jarh wa ta’dil yang sesuai dengan kaidah-kaidah para imam dan ahli hadits semenjak tiga puluh tahun yang lalu. Maka apakah pengakuan ini benar atau salah dan dusta belaka?
Para pembaca akan menyaksikan sendiri ujung dari dakwaan yang panjang lebar ini. Saya meyakini bahwasanya kamu tidak ada tandingannya lagi dalam sikap mempermain-mainkan dan bermuka ganda ini.
Perkataan Al-Halabi: “Dalam kitabku “Manhaj salafush-sholeh fii ushuulin-naqd wat ta’dil wan-nasho’ih’ (manhaj ulama salafush-sholeh dalam pokok-pokok kritikan, rekomendasi dan nasihat) hal. 133-140 -yang telah tercetak beberapa tahun yang lalu- terdapat penjelasan yang rinci dan pemaparan yang ditetapkan serta penetapan yang panjang lebar.”
Saya (Syaikh Robi’) katakan:
Sebenarnya kitabmu ini hanyalah manhaj kholafut-tholeh (orang-orang belakangan yang tidak sholeh). Kamu hanyalah menginginkan fitnah dan keributan terhadap manhaj salafus-sholeh. Dr. Ahmad Bazmul telah menjelaskan kebatilan-kebatilan yang terdapat di dalamnya. Kamu tetap bersikeras berada di atas kebatilan-kebatilan itu sebagaimana perihal ahlul ahwa’.
Sebelum adanya (kitab) manhaj batil ini, kamu telah memuntahkan fitnah dan kaidah-kaidah batil ini sebagaimana yang kamu tetapkan dalam kasetmu yang tidak asing lagi itu. Maka bangkitlah salah seorang salafi menjelaskan kesesatan-kesesatan yang kamu bawakan sebagai bentuk nasihat buatmu dan kamu pun enggan untuk menerima nasehat tersebut untuk terus mempertahankan dirimu dalam kebingungan, kegelapan kebatilan dan kebodohan.
Ucapan Al-Halabi: “Berikut ini –semoga Alloh menjaga dan memberi kalian taufik- konteks perkataanku dalam pendahuluan kitabku “Tsalatsah rosa’il fii uluumil hadits” yang telah dicetak di kota Zarqo’-Yordania semenjak tiga puluh tahun yang lalu. Sekarang –bihamdillah-, telah terbit dengan cetakan terbaru. Saya katakan (di dalamnya): “Asal mula ilmu hadits dan perkembangannya. Seorang pengkaji yang jeli dan pengamat yang teliti mencermati bahwasanya pondasi dan kaidah-kaidah penting dalam ilmu-ilmu hadits dan periwayatan serta penukilan berita-berita yang telah disebutkan dalam kitabulloh dan sunnah Nabinya -shollallohu ‘alaihi wa sallam-.
- Telah terdapat dalam kitabulloh -subhanahu-:
يا أيها الذين آمنوا إن جاءكم فاسق بنبإ فتبينوا
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” (QS. Al-Hujurot: 6)
Dalam qiro’ah Hamzah: فتثبتوا
Semisal dengan itu dalam hadits Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-:
نضر الله امرءا سمع منا شيئا ، فبلغه كما سمعه ، فرب مبلغ أوعى من سامع
“Alloh akan membuat berseri-seri wajah seorang yang mendengar dari kami suatu hadits, lalu dia menyampaikannya sesuai dengan apa yang dia dengar. Terkadang orang yang disampaikan kepadanya lebih memahami daripada orang yang mendengarnya pertama kali.”
Telah shohih juga hadits Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-:
إذا حَدَّثتُكم حديثاً، فلا تزيدُنَّ عَلَيَّ
“Jika aku sampaikan kepada kalian suatu hadits, maka janganlah sekali-kali kalian menambahnya lebih dari apa yang telah aku sampaikan.”
Semisal dengan itu sabdanya -shollollohu ‘alaihi wa sallam-:
من حدث عني بحديث يري أنه كذب فهو أحد الكاذبين
“Siapa yang menyampaikan dariku suatu hadits dan dia mengetahui kalau itu adalah dusta, maka dia termasuk dari salah seorang pendusta.”
Saya (Syaikh Robi’) katakan:
- Akan tetapi kamu itu bukanlah tipe seorang pengkaji yang jeli dan bukan pula pengamat yang teliti. Para pembaca akan mengetahui bahwasanya kamu tidak lebih dari sekedar tukang teror pembohong.
- Oleh karena itu, kamu tidak mengamalkan tuntutan dari ayat yang mulia tersebut dan tidak juga mengamalkan apa yang telah ditetapkan oleh para ulama dalam menjelaskan makna ayat tersebut. Akan tetapi, kamu mengamalkan lawan dari makna yang dikandung ayat tersebut dan lawan dari apa yang telah disepakati oleh para ulama dalam menjelaskan maknanya.
Konteks dari ayat tersebut menunjukkan wajibnya untuk tatsabbut (meneliti) khobar fasiq (berita orang-orangs fasik). Dipahami dari konteks ayat tersebut bahwa tidak disyariatkannya untuk tatsabbut khobar tsiqoh (berita orang-orang yang jujur) yang dipimpin oleh para sahabat yang mulia. Demikianlah apa yang ditempuh oleh para ulama Ahlussunnah dalam masalah ini.
Sedangkan kamu telah banyak membuat keraguan-raguan terhadap khobar tsiqoh yang termasuk di dalamnya khobar para sahabat Rasululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- lalu kamu seru manusia untuktasabbut dari khobar yang mereka sampaikan. Kamu jadikan kerusakan itu sebagai tumpuan dari perkataanmu yang dholim dan gelap: “Apakah kalian belum mendekatkan pendengaran kalian untuk mendengar dari kami …dan mencukupkan diri untuk mendengarkan kami…”
Kamu telah menukil dan menetapkan dari perkataan tersebut akan wajibnya tasabbut dari khobar tsiqohlalu kau perluas lingkaran tasykik (membuat keragu-raguan) tersebut sampai kamu masukkan khobarpara sahabat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- ke dalamnya, lalu kamu membuat manusia merasa seakan-akan itu termasuk adab dari Nabi.
- Pada dua hadits yang terakhir, tidak ada hujjah bagimu atas sikap tasabbut dari khobar tsiqoh lagi terpercaya, akan tetapi hanyalah berisi peringatan keras dari Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dari membuat kedustaan atas nama beliau -shollollohu ‘alaihi wa sallam-. Tidak terdapat pada keduanya anjuran untuk tatsabbut dari khobar para sahabat dan tidak pula dari para tsiqoh.
Kata Al-Halabi: “Pada ayat yang mulia dan hadits-hadits yang shohih ini terkandung asal pokoktatsabbut dalam mengambil khobar (berita) serta batasannya dengan penuh kehati-hatian dan menjaganya kemudian menyampaikan kepada orang lain dengan teliti serta bersungguh-sungguh dalam memastikan apapun yang diriwayatkan tanpa mengalami penambahan maupun pengurangan.”
Saya (Syaikh Robi’) katakan:
Al-Halabi telah menetapkan sejak tigapuluh tahun yang lalu apa-apa yang bertentangan dengan kaidah-kaidah pokok al-jarh wat-ta’dil, kemudian menyuarakan kedustaannya bahwa penetapan kaidahnya telah sesuai dengan kaidah-kaidah para ahli hadits. Namun pada kenyataan sebenarnya, penetapan kaidah-kaidahnya menyelisihi kaidah-kaidah para ahli hadits.
Berikut ini apa yang dia katakan:
“Pada ayat yang mulia dan hadits-hadits yang shohih ini terkandung asal pokok tatsabbut dalam mengambil khobar (berita) serta batasannya dengan penuh kehati-hatian dan menjaganya kemudian menyampaikan kepada orang lain dengan teliti serta bersungguh-sungguh dalam memastikan apapun yang diriwayatkan tanpa mengalami penambahan maupun pengurangan.”
Saya (Syaikh Robi’) katakan:
Tidaklah terdapat dalam ayat suci dan hadits-hadits shohih tersebut syariat untuk tatsabbut dari khobar tsiqoh lagi tsabit, maka kamu jangan membawanya kepada maksud yang tidak terkandung di dalamnya. Adapun hadits Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-:
نَضَّر اللهُ امرَءاً سمعَ منا شيئاً فبلّغه كما سمعه، فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أوعى من سامع
“Alloh akan membuat berseri-seri wajah seorang yang mendengar dari kami suatu wahyu lalu dia menyampaikan sesuai dengan apa yang dia dengarkan. Terkadang orang yang disampaikan kepadanya lebih memahami daripada orang yang mendengarnya awal kali.”
Di dalam hadits ini hanyalah dipetik anjuran kepada para sahabat dan orang-orang tsiqoh terpercaya dari umatnya untuk menyampaikan dari beliau akan syariat Alloh dan wahyu-Nya dari konteks Al-Qur’an dan hadits-hadits nabawi. Ini menunjukkan kepercayaan penuh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam terhadap para sahabatnya –ridhwanullohi ‘alaihim- dan keyakinan beliau -shollollohu ‘alaihi wa sallam- bahwa mereka itu semuanya tsiqoh, terpercaya dan kuat hafalannya dan mereka itulah yang lebih pantas untuk menyampaikan sesuai apa yang mereka dengar dari beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam. Memang demikian keadaan mereka –wal hamdulillah-. Mereka menyampaikan dari beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan penuh kesempurnaan dalam berbagai aspek-aspek penyampaian.
Semisal dengan hadits tersebut adalah sabda beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam:
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Sampaikanlah dariku walaupun sebuah ayat dan beritakan dari kisah-kisah Bani Israil tanpa rasa sungkan. Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mempersiapkan diri untuk menempati kediamannya di dalam neraka.” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhori dalam “Kitab Al-Anbiya” hadits 3461)
Dari hadits tersebut di atas, terdapat anjuran dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat beliau untuk lebih teliti dalam penyampaian hadits dan peringatan keras dari kedustaan. Karena ketakwaan yang tertanam di hati, membuat mereka (para sahabat) sangat takut kepada Alloh dan waspada agar tidak terjatuh dalam kedustaan, sementara mereka tidak menyadarinya.
Dari Abdullah bin Zubair -rodhiyallohu ‘anhu-, beliau berkata: “Kukatakan kepada Zubair: “Mengapa aku tidak mendengarmu menyampaikan hadits dari Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- seperti banyaknya yang disampaikan oleh si Fulan dan si Fulan?” Maka dia (Zubair) pun berkata: “Mengenai diriku, maka aku tidak pernah berpisah dengan beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi aku pernah mendengar beliau berkata: “Barangsiapa yang berdusta atas namaku (pada suatu hadits yang aku tidak mengatakannya), maka hendaknya dia mempersiapkan tempat kediamannya di neraka.” (Dikeluarkan oleh Bukhori dalam Kitabul ‘Ilmi, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan selain mereka)
Dari Abdul Aziz bin Shuhaib bahwa Anas -rodhiyallohu ‘anhu- berkata: “Sesungguhnya yang menghalangiku untuk menyampaikan hadits yang banyak kepada kalian adalah sabda Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam-: “Siapa yang menyampaikan hadits dusta (palsu), lalu menyandarkannya kepadaku dengan sengaja, maka hendaknya dia mempersiapkan diri untuk menempati kediamannya di dalam neraka.” (muttafaqun ‘alaih, riwayat Bukhori dalam kitab “Al-Ilmi”: 180 dan Muslim dalam pendahuluan kitab beliau, no. 2)
Para sahabat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah menyampaikan sunnah Nabi mereka dan belum pernah terdengar seorangpun dari mereka yang berdusta walau dengan sepatah kata. Atas dasar pengetahuan dan keyakinan mereka akan kenyataan yang ada, maka tidak seorang pun di antara mereka yang menahan diri mereka untuk tidak menerima hadits yang disampaikan oleh saudara mereka karena kepercayaan penuh yang tertanam dalam hati-hati mereka akan kejujuran sahabatnya. Demikian mereka menyikapi satu sama lain.
Demikian pula hal generasi setelah mereka (tabi’in) yang mengikuti jejak orang-orang sebelum mereka dengan baik. Mereka menerima hadits-hadits pendahulu mereka dari kalangan sahabat dengan penuh kepercayaan dan penghargaan lantaran besarnya kepercayaan mereka terhadap sahabat Muhammad -shollollohu ‘alaihi wa sallam-. Mereka juga sama sekali tidak mengetahui apa yang ahlul bid’ah dakwahkan seperti keharusan untuk tatsabbut dari berita yang disampaikan oleh para sahabat Muhammad -shollollohu ‘alaihi wa sallam- yang mereka telah Alloh pilih untuk menemani nabi-Nya –shollollohu ‘alaihi wa sallam- dan menjaga agama-Nya serta menyebarkannya.
Maka Al-Halabi yang ‘miskin’ ini, memahami ayat dan hadits-hadits shohih tersebut sebagai asal pokok dalam tatsabbut dari khobar tsiqoh, bahkan dari khobar para sahabat yang mereka itu adalah orang yang paling bertaqwa lagi kokoh di atas kebenaran. Dia tidak bisa membedakan mana orang yang fasik pendusta, tersangka, tidak dikenal biografinya dan mana orang yang adil, kuat hafalan dan penjagaannya terhadap hadits. Bahkan dia tidak bisa membedakan orang-orang jelek tersebut dengan para sahabat yang mulia. Pemahamannya yang tidak stabil ini terhitung sebagai kedustaan terhadapRobbul ‘alamin dan terhadap Rosululloh -shollollohu ‘alaihi wa sallam- yang jujur lagi terpercaya serta terhitung sebagai penyelisihan terhadap manhaj ahli fikih dan hadits. Dia berjalan di atas kaidah ahlul bid’ah yang jahil dalam bersikeras dan membuat-buat syarat-syarat batil dengan maksud menolakkhobar tsiqoh, lalu menutupi dirinya di balik tameng syarat-syarat batil tersebut yang tidak pernah disyari’atkan oleh Alloh dan rosul-Nya -shollollohu ‘alaihi wa sallam-.
Al-Halabi telah mengatakan sejak tiga puluh tahun yang lalu –menurut pengakuannya-:“Sebagai bentuk ketaatan kepada Alloh ta’ala dan rosul-Nya -shollollohu ‘alaihi wa sallam-, maka para sahabat semangat untuk meneliti keabsahan berita, baik dalam penyampaian maupun penerimaan. Apalagi jika mereka ragu akan kejujuran penukilnya. Berikut ini adalah perkataan Imam Adz-Dzahabi -rohimahulloh- dalam menyebutkan biografi Abu Bakar -rodhiyallohu ‘anh -: “Dia termasuk salah seorang yang paling pertama menanamkan sikap berhati-hati dalam menerima khobar…”. Beliau juga berkata dalam biografi Umar bin Khoththob: “Beliaulah orang yang membuat contoh bagi para ahli hadits untuktatsabbut dalam penukilan berita dan terkadang beliau berhenti sejenak dan tidak cepat menerima berita yang dibawa oleh satu orang jika merasa ada keraguan pada dirinya…”. Telah shohih dinukilkan dari Ali -rodhiyallohu ‘anhu- bahwa beliau berkata: “Dahulu, setiap kali aku mendengar suatu hadits dari Rosululloh -shollollohu ‘alaihi wa sallam-, Alloh memberiku manfaat dari hadits tersebut sesuai kehendak-Nya. Namun apabila yang menyampaikan kepadaku suatu hadits adalah bukan Rosululloh -shollollohu ‘alaihi wa sallam-, maka akupun memintanya untuk bersumpah atas apa yang dia sampaikan. Kalau dia berani bersumpah, maka aku membenarkannya atas apa yang dia sampaikan. Sungguh Abu Bakar –rodhiyallohu ‘anhu- pernah menyampaikan kepadaku sebuah hadits –dia itu termasuk orang yang jujur- bahwasanya beliau berkata… Demikianlah dahulu komitmen seluruh sahabat …”
(Syaikh Robi’ berkata):
Perkataanmu: “Sebagai bentuk ketaatan kepada Alloh dan rosul-Nya -shollollohu ‘alaihi wa sallam- , maka para sahabat bersemangat untuk meneliti keabsahan berita, baik dalam penyampaian maupun penerimaan.”
Saya katakan:
“Saya berlindung kepada Alloh dari perbuatan mengada-ada atas nama-Nya ta’ala dan Rosul-Nya -shollollohu ‘alaihi wa sallam- serta para sahabat yang mulia.
1. Lihatlah orang ini, bagaimana dia mengajak untuk tatsabbut dari khobar sahabat dan orang-orangtsiqoh dan terpercaya. Di sisi lain, dia bergampangan dalam menerima khobar dhoif (lemah) dan menjadikannya sebagai hujjah atau dalil. Dia ingin membangun di atasnya dan di atas pemahamannya yang lemah suatu manhaj dan didakwakan bahwa itu sesuai dengan kaidah-kaidah para ulama dan ahli hadits. Andaikan dia mau mencukupkan diri dengan kaidah-kaidah salaf, tentunya dia tidak perlu untuk memaksakan diri membuat-buat kaidah kaidah baru, kemudian mengaku bahwa itu sesuai dengan kaidah-kaidah para imam.
2. Ucapan tersebut mengandung suatu kedustaan atas nama Alloh dan Rosul-Nya -shollollohu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabatnya yang mulia. Kapan dan di manakah Allah pernah memerintahkan untuktasabbut dari khobar tsiqoh, terlebih lagi khobar dari para sahabat Muhammad – shollollohu ‘alaihi wa sallam-?! Kapankah Rosululloh -shollollohu ‘alaihi wa sallam- pernah memerintahkan untuk tatsabbut darikhobar tsiqoh, terlebih lagi para sahabatnya yang mulia?! Mereka itu manusia yang paling jujur, adil dan mulia setelah para nabi. Para sahabat sama sekali tidak pernah meragukan kejujuran saudara-saudaranya yang mulia. Apakah di antara para sahabat ada yang pernah meragukan kejujuran sebagian yang lain? Begitu pula, apakah pernah para tabi’in meragukan kejujuran para sahabat Rosululloh – shollollohu ‘alaihi wa sallam-? Apakah penetapanmu terhadap kaidah ini bisa dipertanggung-jawabkan sesuai dengan kaidah-kaidah para ulama dan ahli hadits?!
3. Perkataannya yang dinukil dari Imam Adz-Dzahabi mengenai biografi Abu Bakar -rodhiyallohu ‘anhu-: “Dia adalah orang pertama yang berhati-hati dalam menerima khobar…”
Saya (Syaikh Robi’) katakan:
“Perkataan Adz-Dzahabi tersebut berdalil dengan khobar yang dinukil dari Az-Zuhri dari Qobishoh bin Dzu’aib: “Seorang nenek datang kepada Abu Bakar menuntut warisan. Maka ia (Abu Bakar) berkata: “Aku tidak mendapatkan dalam Kitabulloh sama sekali untukmu. Tidaklah pula aku mengetahui bahwa Rosululloh -shollollohu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan hal itu sedikitpun. Lalu Abu bakar bertanya kepada hadirin, maka Al-Mugirah berdiri dan mengatakan: “Aku pernah menyaksikan Rosululloh – shollollohu ‘alaihi wa sallam- memberinya (nenek orang yang meninggal) seperenam bagian. Maka Abu Bakar berkata kepadanya (Al-Mugirah): “Apakah ada yang hadir bersamamu waktu itu?” Maka Muhammad bin Maslamah pun mempersaksikan hal yang sama. Maka Abu Bakar memberinya (nenek itu) bagiannya.” (Tadzkirotul Huffadz: 2/1)
Saya (Syaikh Robi’) katakan:
“Sesungguhnya kisah tersebut tidaklah tsabit (shohih) penukilannya dari Abu Bakar -rodhiyallohu ‘anhu – karena sanadnya terputus antara Qobishoh dan Abu Bakar -rodhiyallohu ‘anhu-, karena Qobishoh tidak pernah berjumpa dengan Abu Bakar -rodhiyallohu ‘anhu-. Maka riwayatnya lemah, karena sanadnya terputus.”
Al-Hafidz Waliyuddin Ahmad bin Abdurrohim Al-‘Iroqi berkata dalam Tuhfatut-Tahshil, hal. 262: “Qobishoh bin Dzu’aib lahir pada tahun terjadinya fathu Makkah menurut pendapat yang terkuat. Ada juga yang mengatakan pada awal tahun hijriyah dan disebutkan dalam kitab At-Tahdzib bahwasanya riwayatnya dari Abu Bakar dan Umar -rodhiyallohu ‘anhuma- mursalah (terputus).”
Saya katakan:
Dalam At-Tahdzib beliau menegaskan bahwa riwayatnya dari Abu Bakar mursalah. Adapun riwayatnya dari Umar dikatakan mursalah, sekian. Al-‘Allamah Al-Albani –rohimahulloh- telah melemahkannya sebagaimana dalam kitab Irwa’ul Golil (6/124-125) hadits (1680). Beliau menukil dari Ibnu Abdil Barr bahwasanya Qobishoh tidak pernah mendengar hadits dari Abu Bakar -rodhiyallohu ‘anhu-. Al-Albani juga menukilkan dari Ibnu Hazm bahwasanya beliau menyebutkan illahnya (sebab dilemahkannya) karena inqitho’ (terputus). Begitu pula Abdul Haq sependapat dengan Ibnu Hazm dalam masalah tersebut. Al-‘Allamah Al-Albani juga telah melemahkannya dalam kitab Dho’if Ibnu Majah (595) dan dalam kitab Dho’if Tirmidzi (370).
Dari hadits dho’if tersebut, Al-Halabi ingin menetapkan keraguan Abu Bakar -rodhiyallohu ‘anhu- akan kejujuran sahabat yang mulia Al-Mugiroh bin Syu’bah -rodhiyallohu ‘anhu-. Alangkah jauhnya sangkaannya itu.
Kata Al-Halabi: “Beliau juga berkata dalam biografi Umar bin Khotthob: “Beliaulah orang yang membuat contoh bagi para ahli hadits untuk tatsabbut dalam penukilan berita dan terkadang beliau tidak langsung menerima berita yang dibawa oleh satu orang jika merasa ada keraguan di dalamnya…”
Saya (Syaikh Robi’) katakan:
Sesungguhnya Umar bin Khotthob -rodhiyallohu ‘anhu- tidaklah membuat tuntunan baru bagi para ahli hadits untuk tatsabbut dari khobar para tsiqoh. Sungguh mustahil beliau menuntunkan manhaj baru yang tidak disyari’atkan oleh Alloh dan Rosul-Nya -shollollohu ‘alaihi wa sallam-. Alloh telah mensyari’atkan untuk bertatsabbut dari khobar orang-orang fasiq juga khobar para pendusta, tersangka dusta dan orang yang dikenal lemah hafalannya. Rosululloh -shollollohu ‘alaihi wa sallam- keras dalam memperingatkan dari kedustaan atas nama beliau, maka tidaklah diketahui dari seorang sahabat pun adanya kedustaan tersebut dan tidak tidak pula dari selainnya. Itu mustahil untuk mereka lakukan. Tidaklah Alloh dan Rosul-Nya -shollollohu ‘alaihi wa sallam- juga para sahabat beliau yang mulia pernah memerintahkan untuk bertatsabbut dari khobar para tsiqoh. Ini adalah Umar -rodhiyallohu ‘anhu-telah menerima khobar orang yang menyampaikan kepadanya hadits dari Rosululloh -shollollohu ‘alaihi wa sallam- dan beliau tidak bertatsabbut dan tidak pula meragukan khobar yang disampaikan kepadanya. Umar -rodhiyallohu ‘anhu- mengatakan dalam sebuah hadits yang panjang: “Dahulu aku punya tetangga dari kalangan Anshor. Kami biasanya saling bergantian untuk mendatangi Rosululloh -shollollohu ‘alaihi wa sallam-. Maka sehari dia mendatangi beliau -shollollohu ‘alaihi wa sallam– dan aku juga mendatangi beliau -shollollohu ‘alaihi wa sallam– sehari setelahnya. Maka ia mendatangiku membawa berita wahyu dan selainnya dan aku pun demikian pula. (Riwayat Muslim dalam Shohihnya no. 1474)
Maka jelaslah bahwa Umar menerima berita dari sahabatnya dan tidak pernah datang kepada Rosululloh-shollollohu ‘alaihi wa sallam- untuk menanyakan kebenaran apa yang disampaikan oleh sahabatnya dari Anshor tersebut. Tidak pula beliau menanyakan kepada sahabat yang lainnya tentang hadits-hadits tersebut. Begitu pula sebaliknya, sahabat Umar tadi tidak pernah bertatsabbut akan khobar yang disampaikan Umar kepadanya dari Rosululloh -shollollohu ‘alaihi wa sallam-.
Apakah AL-Halabi jujur dalam perkataannya: “Sebagai bentuk ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya - shollollohu ‘alaihi wa sallam-. Para sahabat dahulu meneliti keabsahan berita, baik dalam penyampaian maupun penerimaan, terutama jika mereka ragu akan kejujuran penukilnya.”
Sungguh Umar -rodhiyallohu ‘anhu- telah menerima hadits Abdurrrohman bin ‘Auf –rodhiyallohu ‘anhu-sendirian, bahwasanya Rosululloh -shollollohu ‘alaihi wa sallam- menerima jizyah dari kaum Majusi dari Hajar. Berikut ini konteksnya: “Dari Bajalah bin ‘Abdah, beliau berkata: “Dulunya aku sebagai penulis bagi Jaz bin Mu’awiyah paman Al-Ahnaf. Sampai kepada kami kitab yang dikirim oleh Umar bin Khoththob setahun sebelum beliau meninggal untuk memisahkan setiap orang yang mempunyai mahrom dari kalangan majusi. Waktu itu Umar belum menerima jizyah dari Majusi. Sampai akhirnya Abdurrohman bin ‘Auf menyampaikan bahwa Rosululloh -shollollohu ‘alaihi wa sallam- pernah menerima jizyah dari kalangan Majusi Hajar.” (lihat Shohih Bukhori kitab Jizyah wal Muwada’ah, hadits no. 3157, Abu Dawud: 3043 dan Tirmidzi: 1586 dan selainnya)
Beliau juga menerima khobar dari ‘Abdurrohman bin ‘Auf sendirian tentang larangan melarikan diri dari tempat terjadi wabah penyakit tho’un dan larangan memasuki tempat yang tercemar dengan wabah tersebut. (muttafaqun ‘alaih)
Beliau juga menerima khobar Ad-Dhohhak bin Sufyan mengenai warisan untuk istri Asyyam Adh-Dhuba’i. Dari Az-Zuhri dari Sa’id bin Musayyab bahwasanya Umar pernah mengatakan: “Diyat itu wajib bagi keluarga orang yang membunuh dan seorang istri tidak mendapatkan warisan dari diyat suaminya sedikitpun.” Sampai akhirnya Adh-Dhohhak bin Sufyan Al-Kilabi menyampaikan kepadanya bahwa Rosululloh -shollollohu ‘alaihi wa sallam- telah menulis surat kepadanya bahwa istri Asyyam berhak mendapat warisan dari diyat suaminya. (HR, Abu Dawud, Tirmidzi dan selainnya) Kemudian Tirmidzi mengatakan: “Hadits ini hasan shohih, pengamalannya berdasarkan hadits ini menurut ahlul ilmi.”
Renungkanlah, bagaimana Umar -rodhiyallohu ‘anhu- menerima khobar Adh-Dhohhak bin Sufyan dan meninggalkan pendapatnya sendiri dan bagaimana para ulama telah menerima khobar Adh-Dhohhak dan mengamalkannya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar: “Ada banyak khobar ahad muncul dari beberapa peristiwa.” Lihat hadits-hadits tersebut dalam kitab An-Nukat oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar (1/246), ketika beliau membantah Ibrohim bin Ismail bin ‘Ulayyah seorang Jahmi yang sesat dan Jahidh dan Abi ‘Ali Al-Jayyani dan keduanya merupakan pentolan mu’tazilah. Maka Al-Halabi telah mengikuti jalan mereka dalam sikap susahnya untuk menerima khobar tsiqoh (yaitu ketika bersandar di atas pemahamannya yang rusak dan riwayat-riwayat yang lemah. Ini adalah jalannya orang-orang yang sesat), demikian pula menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah dan ij’ma Ahlussunnah dari kalangan ahli fikih dan hadits.
Adapun perkataan Adz-Dzahabi -rohimahulloh- pada riwayat Umar -rodhiyallohu ‘anhu-: “Terkadang beliau tawaqquf (tidak menerimanya dan tidak pula menolaknya) dari khobar ahad jika dia ragu.” Ini tidak bisa diterima. Kemudian saya katakan: semoga Alloh merahmati Adz-dzahabi. Mungkin pendapat beliau ini dikarenakan kisah Abi Musa bersama Umar -rodhiyallohu ‘anhu- dalam peristiwa permintaan izin (isti’dzan) Abi Musa sebelum masuk rumah Umar -rodhiyallohu ‘anhu- dan ini –wallohu a’lam– tidaklah terjadi pada diri Umar, kecuali sekali saja dan itu tidaklah beranjak dari asal pokok tatsabbut dalam mengambil setiap khobar…dst, sebagaimana yang Al-Halabi rancukan.
Ubai bin Ka’b -rodhiyallohu ‘anhu- pernah menyalahkan Umar -rodhiyallohu ‘anhu- dalam hal itu, beliau berkata kepadanya: “Wahai Umar, janganlah engkau menjadi adzab bagi sahabat Rosululloh -shollollohu ‘alaihi wasallam-. Maka Umar pun menjawab: “Aku bukan sebagai adzab bagi sahabat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-.” Dalam riwayat Abu Daud: “Umar berkata kepada Abu Musa: “Aku tidak menuduhmu berdusta (yaitu berdusta atas nama Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam-, akan tetapi hadits Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- itu sangatlah berat.” Lihat Sunan Abi Dawud, kitab adab,hadits no. 5181, 5183.
Maka Umar -rodhiyallohu ‘anhu- tidaklah menuduh Abu Musa -rodhiyallohu ‘anhu- dan tidak pula membuat tuntunan baru kepada manusia sebagaimana pengakuan Al-Halabi dan para pendahulunya.
Sungguh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- pernah mengutus Abu Musa ke negeri Yaman sebagai seorang da’i dan pengajar serta penyampai sabda Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- yang beliau telah hafal dalam masalah akidah, ibadah, perkara halal dan haram serta akhlak yang baik. Hal ini sebagaimana Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mengutus orang-perorang dari sahabat beliau ke berbagai penjuru dunia untuk menyampaikan risalah beliau, karena Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-percaya penuh akan kejujuran dan kepercayaan para sahabat. Ini semua bertolak belakang dengan apa yang diyakini oleh Al-Halabi dan yang telah ia tetapkan berupa kebatilan sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh ahli ahwa’.
Kemudian, berapa banyak hadits Abi Musa -rodhiyallohu ‘anhu- yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Islam dan tak seorang pun yang melakukan tatsabbut akan hadits tersebut. Berapa banyak hadits para sahabat dan tak seorang pun yang melakukan tatsabbut akan hadits mereka, karena mereka itu di atas derajat orang tsiqoh. Berapa banyak hadits tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta para ulama penasehat umat telah menerimanya dengan penuh penghargaan.
Adapun hadits ‘Ali mengenai dirinya dahulu meminta sumpah setiap orang yang menyampaikan kepadanya hadits, maka hal itu tidak ada yang meriwayatkannya, kecuali Asma’ bin Al-Hakam Al-Fazari dan dia itu majhul (tidak dikenal), tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali seorang perowi saja yang bernama ‘Ali bin Robi’ah dan tidak ada yang mentsiqohkannya, kecuali Al-‘Ijli. Sementara Al-‘Ijli sendiri bermudah-mudahan dalam memberikan tautsiq (pentsiqohan) terhadap para perowi majhul.
Ibnu Abi Hatim dalam biografinya (2/325) menyebutkan: “Asma’ bin Al-Hakam Al-Fazari meriwayatkan dari ‘Ali dan yang meriwayatkan darinya (Asma’) adalah ‘Ali bin Robi’ah Al-Walibi: “Aku mendengar ayahandaku mengatakan demikian.” Beliau tidaklah menyebutkan lebih dari itu. Al-Bukhori dalam Tarikh Al-Kabir (2/54) dalam biografi Asma’ bin Al-Hakam ini, yang meriwayatkan hadits ini dari ‘Ali rodhiyallohu ‘anhu- mengatakan: “Tidak meriwayatkan dari Asma’ bin Al-Hakam kecuali satu hadits ini dan satu hadits lain, tidak ada pendukungnya yang lain. Para sahabat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- saling meriwayatkan hadits sebagian mereka dari sebagian yang lain dan tak seorang pun dari mereka yang bersumpah dari mereka.” (Pepatah mengatakan): “Jika Hadzami berkata kepada kalian, maka benarkanlah apa yang dia ucapkan (karena dialah orang yang tahu dan dipercaya).” Sedangkan kaidah-kaidah yang berlaku bersama dengan orang yang melemahkan hadits tersebut di atas, di antara mereka adalah Imam Bukhori.
Perhatikanlah ungkapan-ungkapan Al-Halabi: “Telah tsabit (shohih) dari ‘Ali –rodhiyallohu ‘anhu–…” dan perkataannya: “Demikianlah dulunya jalan seluruh sahabat…” Yaitu mereka tidak menerima hadits-hadits yang disampaikan oleh saudara-saudara mereka dari kalangan para sahabat pula, kecuali setelah meminta sumpah-sumpah mereka atas apa yang disampaikan.
Saya (Syaikh Robi’) katakan:
Inikah yang dinamakan ilmu itu, inikah yang dinamakan penetapan kaidah pokok?!! Darimana kamu dapatkan bahwa para sahabat itu meragukan kejujuran para sahabat yang lain serta meminta mereka untuk bersumpah?! Apa hukum salaf terhadap orang yang bertindak serampangan dengan membuat kaidah-kaidah seperti ini dan beromong kosong serta kaidah-kaidah yang menghancurkan?!
Kata Al-Halabi: “3. Berdasarkan semua ulasan tersebut, maka nampak bagi kita pentingnya isnad dalam menerima setiap berita ataukah menolaknya.”
Maksud Al-Halabi dalam perkataannya: “Berdasarkan semua ulasan tersebut,” adalah ayat dan hadits-hadits yang telah ia sebutkan dan tidaklah ada padanya perkara tatsabbut dari berita-berita para sahabat dan tidak pula dari orang yang tsiqoh lagi terpercaya. Sementara dia telah menampilkan ayat dan hadits dari ‘Umar dan ‘Ali –rodhiyallohu ‘anhuma– sebagai pendalilan perkara tatsabbut dari berita-berita yang disampaikan oleh para sahabat. Betapa dahsyatnya bencana ini. Terus bagaimana kelanjutan berita-berita orang-orang tsiqoh itu di sisinya?
Dari keyakinan batil dan kaidah-kaidah yang sejak dulu melekat dalam jiwanya ini, dia membuat keraguan tanpa rasa malu dan bersikeras terhadap khobar para sahabat yang mulia dan para tsiqohdalam perkataannya dengan judul: “Apakah kalian belum mendekatkan pendengaran kalian untuk mendengar dari kami dan mencukupkan diri untuk mendengarkan kami…” (lihat pada hal. 5)
Kata Al-Halabi semenjak tiga puluh tahun yang lalu: “Maka para tabi’in –rohimahumulloh- telah menerapkan hal tersebut dengan kuat. Sufyan Ats-Tsauri mengatakan: “Al-isnad adalah senjata seorang mukmin. Jika ia tidak memiliki senjata, maka dengan apa ia akan berperang?!” Ibnu Mubarak mengatakan: “Menurutku al-isnad adalah bagian dari agama. Andaikan bukan karena al-isnad, maka setiap orang akan berbicara apa saja yang dia kehendaki.” Ibnu Sirin mengatakan: “Dahulu di zaman awal, mereka tidak pernah menanyakan tentang al-isnad. Namun setelah munculnya fitnah, maka mereka pun mulai menanyakan tentang isnad (nama-nama pembawa berita) supaya mereka bisa memilih dan mengambil hadits yang dibawa oleh Ahlussunnah dan meninggalkan hadits yang dibawa para ahlul bid’ah.”
Saya (Syaikh Robi’) katakan:
- Sufyan Ats-Tsauri dan Ibnu Mubarak sebenarnya hanyalah dari kalangan tabi’ut-tabi’in (generasi setelah tabi’in) dan ini merupakan pengetahuan dasar bagi para penuntut ilmu. Bagaimana mungkin kamu mengelompokkan keduanya termasuk dari kalangan tabi’in?!
- Sungguh para imam yang telah kamu sebutkan itu meyakini akan pentingnya perkara isnad yang musalsal (sambung-menyambung) dari kalangan tsiqoh lagi kuat hafalannya. Lalu mereka membangun di atasnya agama dan fikih mereka baik dalam masalah akidah maupun ahkam (hukum-hukum fikih). Mereka tidaklah membuat keraguan di dalamnya dan tidak pula terhadap berita yang disampaikan oleh para sahabat -rodhiyallohu ‘anhum-. Ini adalah perkara yang menyelisihi apa yang engkau inginkan dan tetapkan. Engkau mencarikannya dalil dengan sesuatu yang membuat keraguan akan berita para sahabat dan mengharuskan untuk tatsabbut akan berita yang mereka sampaikan menurut jalan yang ditempuh oleh ahlul ahwa’ yang mengikuti mutasyabihat (perkara-perkara tersamar bagi sebagian orang) dan tidak berpegang dan tunduk dengan dalil-dalil yangmuhkam (jelas).
Kesimpulannya: Al-Halabi ingin menampakkan diri di khalayak ramai dalam permasalahan ini bahwa dia menetapkan pokok-pokok jarh wa ta’dil menurut manhaj para imam dan ahli hadits semenjak tiga puluh tahun yang lalu dan dia masih berjalan di atas manhaj tersebut. Namun kenyataan membuktikan bahwa kaidah-kaidah yang dia tetapkan itu menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah serta manhaj ulama salaf yang dipelopori oleh para sahabat yang mulia. Hal ini berlangsung semenjak tiga puluh tahun yang lalu sampai hari ini. Lalu dia berupaya untuk terus menutup-nutupi aib sendiri, namun udara yang berhembus enggan kecuali menyingkap dan membongkar aib tersebut.
Wahai Halabi, andaikan kamu mempunyai hati yang bersih dari hawa nafsu, sungguh kamu akan mengumumkan taubatmu dari segala perkataan-perkataan batil dan tipu dayamu yang tidak membuahkan hasil serta kaidah-kaidah rusak yang menyebabkan kamu goncang tak berpendirian sejak tiga puluh tahun yang lalu.
Sungguh, saya mohon kepada Alloh agar membuka pintu-pintu taubat-Nya kepadamu dan menganugerahkan kepadamu kejujuran dalam tutur kata dan perbuatan serta dalam perkara wala’ wal baro’ (sikap loyalitas dan antipati) dan pengawasan Robbmu dalam kesenangan maupun kesusahan.
Al-Halabi berkata: “Aku tidak mengerti, di mana keberadaan kebanyakan orang-orang yang mengada-ada atas diriku ketika aku menulis kaidah-kaidah tersebut semenjak tiga puluh tahun yang lalu. Kita memohon kepada Allah kekokohan dari segala fitnah.”
Saya (Syaikh Robi’) katakan:
Sesungguhnya orang-orang yang mengkritikmu dengan haq terhadap apa yang kamu tulis dari kaidah-kaidah terakhir tersebut tidaklah mengetahui perkara gaib. Mereka mengkritikmu sebatas apa yang telah nampak bagi mereka dari kaidah-kaidahmu yang batil itu dan apa-apa yang telah Alloh tampakkan bagi mereka. Tatkala kamu menampakkan apa yang kamu tulis sejak tiga puluh tahun yang lalu -kamu menyangka- bahwa apa yang kamu tulis itu bisa menyelamatkanmu dari apa yang diperbuat kedua tanganmu, maka bangkitlah dengan segera siapa yang menjunjung tinggi kaidah-kaidah salaf dan menjelaskan kesesatan yang ada dalam tulisanmu yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah serta kaidah-kaidah salaf. Maka apa yang mereka sajikan tidaklah menambah bagimu kecuali kerendahan, kehinaan dan kesengsaraan. Alloh membongkar kedokmu di hadapan khalayak manusia dengan tulisan bantahan tersebut dan tulisan-tulisan sebelumnya bahwasanya kamu itu termasuk orang yang paling mengada-ada atas nama Alloh dan Rosul-Nya -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan kaidah-kaidah salaf. Bagaimana mungkin kamu memohon kepada Alloh berupa kekokohan di atas kesesatan dan kedustaan?! Perlu kamu ketahui, bahwasanya orang-orang yang terhormat dan punya harga diri itu tidaklah akan berdusta.
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”
Kelak akan saya tambahkan bagi salafiyin yang mulia lagi jujur –dengan izin Alloh- sesuatu yang bisa menambah kekuatan dan kekokohan mereka dari perkataan-perkataan para ulama yang mengandung penjelasan mengenai kaidah-kaidah yang benar yang telah disepakati oleh para ulama ahli fikih dan ahli hadits serta melenyapkan kaidah-kaidah pembawa kesesatan dari orang-orang terdahulu mereka maupun orang-orang belakangan, diantaranya kaidah-kaidah Al-Halabi dalam memerangi Ahlusunnah dan kaidah-kaidah mereka.
Ini adalah intisari dari perkataan-perkataan dan ketetapan ulama terkemuka dalam menjelaskan manhaj yang benar dalam menyikapi khobar tsiqoh. Saya ketengahkan hal ini kepada para pembaca yang mulia agar menjadi pusat perhatian dan tidak mengalihkan perhatian kepada perkataan-perkataan ahlil ahwa’.
- Imam Ibnu Abdil Barr –rohimahulloh- berkata dalam At-Tamhid (7/207), dalam mensyarah hadits Ummu Salamah -rodhiyallohu ‘anha-: “Di dalamnya juga terkandung faedah fikih, yaitu wajibnya mengamalkan berita yang disampaikan oleh seorang tsiqoh, baik itu laki-laki maupun perempuan. Kumpulan ahli fikih dan ahli hadits mengamalkan hal tersebut. Siapa yang menyelisihinya, maka dia adalah ahlu bid’ah menurut kesepakatan mereka semua. Adapun dalil yang menunjukkan tentang apa yang kami katakan untuk mengamalkan berita dari satu orang (khobar ahad) adalah hadits Rosululloh -shollollohu ‘alaihi wa sallam- kepada Ummu Salamah -rodhiyallohu ‘anha-: ”Tidakkah kamu (wahai Ummu Salamah) menyampaikannya?” Maka beliau –shollallohu ‘alaihi wa sallam- memperjelas bahwa berita yang disampaikan oleh Ummu Salamah itu wajib diamalkan. Begitu juga halnya berita seorang istri kepada suaminya. Andaikata berita yang disampaikan oleh Ummu Salamah tidak berlaku untuk selainnya dan seorang wanita itu tidak mengharuskan suaminya untuk mengamalkannya, tentulah Rosululloh -shollollohu ‘alaihi wa sallam- tidaklah mengatakan kepada Ummu Salamah: “Tidakkah kamu menyampaikannya?” karena Ummu Salamah pernah mengatakan: ”Bagaimana mungkin aku menyampaikannya sendirian hal tersebut darimu dan apa faedahnya aku menyampaikannya sendiri darimu atau bagaimana seorang istri menyampaikan dengan bersendirian suatu berita kepada suaminya?” Hal ini sangatlah jelas menunjukkan akan wajibnya mengamalkan suatu berita satu orang dan menerimanya dari seseorang jika orang itu adil. Hujjah yang menunjukkan hal tersebut telah tertegak dalam Al-Kitab, As-Sunnah, dalil-dalil Al-Ijma’ dan Al-Qiyas.”
- Imam An-Nawawi –rohimahulloh- dalam Syarh Shohih Muslim (1/130-131) mendukung pendapat Imam Muslim –rohimahulloh- mengenai wajibnya menerima khobar seorang yang tsiqoh.Beliau mengatakan: “Yang dikatakan oleh Imam Muslim –rohimahulloh- ini adalah merupakan peringatan tentang suatu kaidah besar yang sebagian besar hukum-hukum syariat dibangun di atasnya, yaitu wajibnya beramal dengan khobar seorang tsiqoh. Maka semestinya hal tersebut mendapat perhatian khusus dalam penerapannya. Para ulama –rohimahumulloh- telah banyak menyebutkan dalil-dalil akan hal tersebut serta menjelaskannya dengan sejelas-jelasnya. Banyak dari ulama salaf telah menuliskannya secara tersendiri dan terpisah dari materi lainnya. Ulama ahli hadits dan ushul fikih juga telah memberinya perhatian penuh. Orang yang paling pertama membuat tulisan tersebut adalah Imam Asy-Syafi’i –rohimahulloh-. Dalil-dalil naqliyah (Al-Kitab dan As-Sunnah) dan akal sehat menunjukkan kebenaran hal tersebut, sebagaimana yang tertera dalam kitab-kitab ushul fikih.”
- Ibnu Hazm –rohimahulloh- dalam kitabnya Al-Ihkam Fi Ushulil Ahkam (1/133) mengatakan: “Kami telah mengumpulkan dalil-dalil mengenai wajibnya menerima khobar ahad (berita yang disampaikan oleh seorang tsiqoh) dengan pasti, yaitu pemberitaan Alloh akan kisah Musa -’alaihis-salam- ketika seorang lelaki dari ujung kota datang kepadanya seraya berkata:
قَالَ يَا مُوسَى إِنَّ الْمَلَأَ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ فَاخْرُجْ إِنِّي لَكَ مِنَ النَّاصِحِينَ فخرج خائفا يترقب -إلى قوله تعالى -إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا- إلى قوله تعالى- إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ
“Wahai Musa, sesungguhnya para pembesar negeri sedang berunding untuk membunuhmu, maka keluarlah kamu dari negeri ini! Sungguh aku termasuk orang yang memberi nasihat kepadamu.” Maka Musa pun keluar dengan penuh rasa takut dan merasa diawasi…” sampai firmanNya, “Sesungguhnya ayahandaku mengundangmu untuk membalas budimu atas air yang pernah kamu tuangkan untuk kami…” sampai firmanNya, “Sungguh aku berkeinginan untuk menikahkanmu dengan salah satu dari kedua putriku ini dengan mahar bercocok tanam untukku selama delapan tahun…” sampai akhir kisah. Maka Musa –‘alaihis-salam- membenarkan berita orang yang memberinya peringatan dan dia pun keluar dari negerinya karena perkataan seorang tersebut dan Alloh pun membenarkan perbuatan Musa. Juga Musa membenarkan perkataan yang disampaikan oleh seorang wanita bahwasanya ayahandanya mengundangnya, maka Musa pun pergi bersamanya. Juga Musa membenarkan perkataan ayahandanya bahwasanya wanita itu adalah putrinya dan dia menghalalkan nikahnya dan berkumpul dengan wanita tersebut dengan perkataan seorang lelaki yang diakui ayahnya dan Alloh pun membenarkan perbuatan Musa tersebut. Maka apa yang kami katakan adalah benar secara meyakinkan bahwasanya khobar wahid (satu orang tsiqoh) tersebut merupakan sesuatu yang harus dibenarkan dengan rasa yakin,walhamdulillahi robbil ‘alamin.”
- Imam Al-Albani –rohimahulloh- dalam risalah beliau Al-Hadits Hujjah bi Nafsiha fil Aqo’id wal Ahkam (hal. 28-37) mengatakan: “Keyakinan bahwa hadits ahad tidak bisa diterima sebagai hujjah itu mereka bangun di atas kekeliruan dan khayalan. Sesungguhnya yang paling mengherankan dari apa yang didengar oleh seorang muslim yang mempunyai akal sehat di zaman ini adalah perkataan yang didengung-dengungkan oleh kebanyakan khotib dan penulis. Setiap kali iman mereka melemah dalam membenarkan sebuah hadits walaupun hadits itu mutawatir menurut ahli hadits, seperti contohnya hadits tentang turunnya Isa –‘alaihis-salam- di akhir zaman. Mereka pun bersembunyi di balik slogan “akidah tidak bisa dibangun di atas hadits ahad”. Sesuatu yang paling mengherankan adalah slogan ini sendiri pada hakikatnya adalah akidah, sebagaimana dahulu pernah saya katakan kepada sebagian orang yang saya debat dalam masalah ini. Dari hal tersebut, maka wajib bagi mereka untuk mendatangkan dalil yang memastikan kebenaran perkataan tersebut, karena kalau tidak, maka mereka akan terperangkap dalam perkara yang saling bertolak belakang. Mereka tidak mungkin mendapatkan dalil itu. Mereka tidaklah mempunyai dalil kecuali hanyalah sekedar pengakuan. Seperti ini tidak bisa diterima dalam masalah hukum-hukum fikih, apalagi dalam masalah akidah? Dengan kata lain: mereka lari dari dhon rojih (dugaan yang kuat) dalam perkara akidah dan terjatuh pada sesuatu yang lebih buruk yaitu dhon marjuh (dugaan yang lemah) dalam perkara tersebut. Maka ambillah pelajaran, wahai orang yang mempunyai bashiroh! Hal tersebut tidaklah terjadi kecuali karena jauhnya mereka dari pemahaman Al-Kitab dan As-Sunnah serta mengambil hidayah dari keduanya secara langsung. Di sisi lain, mereka menyibukkan diri dengan pemikiran tokoh-tokoh mereka. ilahuna
Dalil-dalil mengenai wajibnya mengambil hadits ahad dalam masalah akidah.
Sesungguhnya di sana terdapat dalil-dalil lain yang lebih khusus menunjukkan apa yang telah lalu mengenai wajibnya mengambil khobar ahad dalam masalah akidah. Menurut saya, hal tersebut harus disebutkan walaupun sebagiannya saja beserta uraian sisi pendalilannya.
Dalil yang pertama:
Firman-Nya –ta’ala-:
وما كان المؤمنون لينفروا كافة فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Alloh –tabaroka wa ta’ala- telah mengkhususkan sebagian orang-orang muminin untuk berangkat kepada Rosululloh -shollollohu ‘alaihi wasallam- untuk memperdalam ilmu agama. Tidak diragukan lagi bahwa hal tersebut tidak dikhususkan pada masalah fikih dan cabang permasalahannnya saja, akan tetapi hal tersebut umum dan mencangkup semua bidang. Menjadi keharusan seorang penuntut ilmu dan pengajar untuk mengawali perjalanannya dengan perkara yang lebih penting, lalu perkara yang penting. Tidak diragukan lagi bahwasanya akidah merupakan perkara yang lebih penting daripada masalah fikih. Oleh karena itu, sebagian orang menyangka bahwa masalah akidah tidak bisa dibangun di atas hadits ahad. Persangkaan tersebut terbantah dengan ayat suci di atas. Sebagaimana Alloh telah mengkhususkan sebagian orang tho’ifah untuk menuntut ilmu akidah dan fikih. Dalam bahasa Arab,tho’ifah mencakup seorang atau lebih.
Andaikata hujjah itu tidak bisa tegak dengan hadits ahad dalam masalah akidah maupun fikih, tentulah Alloh –ta’ala- tidak menganjurkan sebagian tho’ifah untuk menyampaikan dakwah sebagai anjuran yang bersifat umum beralasan dengan firmanNya di atas (yang bermakna): “…supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” Sangat jelas hal tersebut menunjukkan bahwa ilmu itu tercapai dengan peringatan seorang tho’ifah. Sebagimana firmannya dalam ayat-ayat syar’iyah maupun kauniyah (alam semesta): “…agar mereka bisa memahami dengan cara berfikir”, “…agar mereka bisa memahaminya dengan akal yang sehat”, “…agar mereka bisa mendapat petunjuk.” Ayat tersebut menunjukkan bahwa khobar ahadadalah hujjah dalam menyampaikan akidah dan fikih.
Dalil yang kedua:
Firman-Nya –ta’ala-:
ولا تقف ما ليس لك به علم
“Janganlah kamu mengikuti atau mengatakan apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.”
Telah diketahui bersama bahwa kaum muslimin sejak zaman sahabat masih terus menerus mengambilkhobar ahad dan mengamalkannya dan mereka menetapkan perkara-perkara ghaib serta masalah akidah dengannya. Seperti contohnya adalah masalah asal mula penciptaan makhluk dan tanda-tanda hari kiamat. Bahkan mereka menetapkan sifat-sifat Alloh dengannya. Andaikan khobar ahad tidak memberi faedah ilmu dan tidak bisa menetapkan ilmu akidah, maka sungguh para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in serta para pemuka Islam telah mengikuti atau mengamalkan apa yang mereka tidak mempunyai ilmu tentangnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim –rohimahulloh-sebagaimana dalam mukhtashor Ash-Showa’iq (2/396): “Ini adalah termasuk perkara yang tidak ada seorang mu’min pun mengatakan demikian.”
Dalil yang ketiga:
Firman-Nya:
يا أيها الذين آمنوا إن جاءكم فاسق بنبأ فتبينوا
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.” Dalam qiro’ah lain: فتثبتوا (maknanya sama).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa jika yang datang membawa suatu berita adalah orang yang adil, maka hujjah itu tegak dengannya dan tidak perlu untuk meneliti keabsahannya, akan tetapi diterima secara langsung saat itu juga. Oleh karena itu, Ibnul Qoyyim –rohimahulloh- berkata dalam Al-I’lam(2/394): ”Ini menunjukkan keharusan untuk menerima khobar ahad dan tidak perlu untuk meteliti keabsahannya. Andaikata khobar ahad tidak memberikan faedah ilmu, maka tentulah akan diperintahkan untuk diteliti ulang keabsahan berita tersebut supaya faedah ilmu itu tercapai. Sisi lain juga menunjukkan bahwa para salafush-sholeh dan ulama Islam masih terus mengatakan: “Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda begini…, melakukan begini…, memerintahkan begini…, melarang begini…. Ini diketahui bersama dari ucapan-ucapan mereka secara dhoruri (jelas sekali tidak butuh dalil).
Dalam shohih Al-Bukhori, Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda di beberapa tempat dan di beberapa hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat. Di antara mereka ada yang mengatakan Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda, sementara mereka hanya mendengarkannya dari sahabat yang lain. Ini merupakan persaksian orang yang meriwayatkan dari sahabat lain dan dia memastikan hal tersebut adalah dari Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- atas apa yang disandarkan kepada beliau -shollollohu ‘alaihi wasallam-, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Andaikatakhobar ahad tidak memberikan faedah ilmu, maka sungguh berarti dia telah bersaksi palsu atas nama Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- tanpa ilmu.”
Dalil yang keempat:
Sunnah Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat menunjukkan disyariatkannya mengambil khobar ahad.
Sesungguhnya sunnah amalan yang dijalankan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat beliau di masa hidup dan sepeninggal beliau juga menunjukkan pendalilan yang pasti untuk tidak membedakan antara hadits ahad, baik dalam masalah akidah maupun fikih. Hadits ahad adalah hujjah yang tegak dalam kedua permasalahan tersebut. Sekarang saya akan menyebutkan kembali –biidznillah-sebagian dalil yang pernah saya dapatkan dari hadits-hadits yang shohih.
Imam Bukhori –rohimahulloh- dalam Shohihnya (8/132) berkata: “Bab: Dalil-Dalil Yang Ada Mengenai Bolehnya Mengamalkan Khobar Ahad Dalam Masalah Adzan, Sholat, Puasa, Warisan dan Permasalahan Fikih. Firman Alloh –ta’ala-“
فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Seorang laki-laki bisa dikatakan tho’ifah sebagimana dalam firman-Nya –ta’ala-:
وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا
“Kalau ada dua tho’ifah dari mereka yang beriman itu saling memerangi.”
Andaikata ada dua orang yang berkelahi, maka juga terkena keumuman ayat tersebut.
Juga firman-Nya –ta’ala-:
إن جاءكم فاسق بنبأ فتبينوا
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti.”
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mengutus sahabat beliau satu-persatu. Jika salah seorang di antara mereka ada yang keliru dalam suatu perkara, maka dia mengembalikannya kepada As-Sunnah.
Kemudian Imam Bukhori menyebutkan hadits-hadits yang dipakai berdalil pada permasalahan yang sedang dibicarakan yaitu mengenai bolehnya menerima khobar ahad. Maksudnya adalah bolehnya beramal dan berdalil dengannya karena itu adalah hujjah. Saya sebutkan sebagian darinya:
Pertama: dari Malik bin Huwairits –rodhiyallohu ‘anhu-, beliau berkata: “Kami pernah mengunjungi Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sewaktu kami masih muda dengan usia sebaya. Maka kami pun menetap bersama Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- selama kurang lebih dua puluh hari. Kami mengetahui bahwa Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mempunyai sifat penyayang dan berlemah-lembut. Maka tatkala kami sudah mulai merindukan sanak keluarga, kami pun menanyakan apa yang pantas disampaikan kepada keluarga yang kami tinggalkan. Maka beliau pun -shollallohu ‘alaihi wa sallam-bersabda:
ارجعوا إلى أهليكم فأقيموا فيهم وعلموهم ومروهم وصلوا كما رأيتموني أصلي
“Kembalilah kalian kepada keluarga kalian dan menetaplah bersama mereka. Ajarkan dan perintahkanlah mereka menegakkan sholat. Tegakkanlah sholat sebagimana kalian menyaksikan aku sholat.”
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah memerintahkan masing-masing dari para pemuda itu untuk mengajarkannya kepada keluarga masing-masing. Proses belajar-mengajar mencakup masalah akidah, bahkan masalah itu adalah masalah paling penting yang diajarkan. Andaikata khobar ahad tidak bisa menegakkan hujjah, maka kejadian tersebut (apa yang dilakukan para sahabat) tentu tidak ada nilainya.
Kedua: dari Anas bin Malik –rodhiyallohu ‘anhu- bahwa sebagian penduduk Yaman datang berkunjung kepada Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Mereka berkata: “Utuslah seseorang kepada kami untuk mengajarkan kepada kami tentang As-Sunnah dan Al-Islam. Maka beliau memegang tangan Abu Ubaidah sambil mengatakan:
هذا أمين هذه الأمة
“Orang ini adalah kepercayaan umat ini.” (dikeluarkan oleh Muslim: 7/29 dan diriwayatkan oleh Imam Bukhori dengan ringkas)
Saya katakan: andaikata hujjah tidak bisa tegak dengan khobar wahid, maka beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidak mungkin mengutus Abu Ubaidah sendirian. Demikian pula halnya utusan Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bergantian ke berbagai penjuru bumi yang berbeda-beda. Selain mereka dari sahabat seperti Ali bin Abi Tholib, Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa Al-Asy’ari. Hadits-hadits mereka di dalam Ash-Shohihain. Tidak diragukan kalau mereka mengajarkan orang-orang yang berada di daerah tersebut masalah akidah secara global. Andaikan hujjah tidak tegak dengan utusan Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- kepada mereka, tentu Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidak mengutus mereka satu persatu, karena hal tersebut akan sia-sia. Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidak mungkin melakukan hal yang demikian.
Inilah maksud perkataan Imam Asy-Syafi’i –rohimahulloh- dalam Ar-Risalah (hal. 412): “Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- tidak mengutus seseorang dengan membawa suatu perkara darinya, kecuali hal tersebut merupakan hujjah atas orang yang diutus kepadanya dengan khobar ahad dari Rosululloh - shollallohu ‘alaihi wasallam-. Sebenarnya Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- itu mampu untuk mengutus sejumlah sahabatnya sekaligus untuk mengajarkan mereka secara langsung yang bentuknya interaktif. Akan tetapi, beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mengutus sahabat satu persatu yang mereka akui kejujurannya.
Ketiga: dari Abdullah bin Umar –rodhiyallohu ‘anhuma-, beliau berkata: “Ketika para sahabat melangsungkan sholat Shubuh di Quba’, tiba-tiba datang seseorang sambil berkata: “Telah turun wahyu kepada Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- tadi malam dan beliau -shollallohu ‘alaihi wasallam-diperintahkan untuk menghadap kiblat ke Ka’bah, maka menghadaplah kalian ke sana!” Awalnya wajah-wajah mereka menghadap ke arah Syam, kemudian mereka berputar mengarah ke Ka’bah.” riwayat Bukhori dan Muslim.
Ini merupakan nash yang menunjukkan bahwa para sahabat menerima khobar ahad dalam perkaranaskh (pergantian hukum) terhadap sesuatu tadinya telah berlaku di tengah-tengah mereka mengenai wajibnya menghadap ke arah Baitul Maqdis. Maka mereka pun meninggalkannya dan memutar ke arah kiblat mereka ke Ka’bah dikarenakan berita seorang sahabat tersebut. Andaikan hal itu bukan hujjah bagi mereka, tentunya mereka tidak akan menyelisihi hukum yang telah mereka ketahui sebelumnya mengenai kiblat yang pertama.
Ibnul Qoyyim –rohimahulloh- mengatakan: “Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidak mengingkari perbuatan para sahabat tersebut, bahkan beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mensyukuri apa yang telah mereka lakukan.”
Keempat: dari Sa’id bin Jubair berkata: “Kukatakan kepada Ibnu Abbas: “Sungguh Nouf Al-Bikali menyangka bahwasanya Musa sahabat Khodir bukan Musa Bani Israil. Ibnu Abbas berkata: “Musuh Alloh telah melakukan suatu kedustaan, Ubai bin Ka’b pernah memberitahuku: “Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- pernah menyampaikan khothbah, kemudian beliau menyebutkan kisah Musa bersama Khodir yang menunjukkan bahwa Musa -shollallohu ‘alaihi wa sallam- adalah sahabat Khidir.” Dikeluarkan oleh Bukhori Muslim dengan kisah yang panjang dan juga dikeluarkan oleh Asy-Syafi’i dengan ringkas dan beliau berkata (442/1219): “Asy-Syafi’i menetapkan perkara akidah dengan khobar wahid. Ibnu Abbas dengan kefakihan dan sifat waronya (kehati-hatian) membenarkan berita yang disampaikan oleh Ubai bin Ka’b dari Rosululloh -shollollohu ‘alaihi wasallam-. Sampai akhirnya muncul seorang muslim (di zaman ini) mendustakannya, karena Ubai bin Ka’b menyampaikan kepadanya hadits dari Rosululloh -shollollohu ‘alaihi wasallam- yang di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan bahwasanya Musa Bani Israil adalah sahabat Khodir.”
Saya (Syaikh Robi’) katakan: perkataan dari Imam Asy-Syafi’I ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara perkara akidah dan amaliah dalam berhujjah dengan khobar ahad karena perihal Musa -‘alaihi salam- itu adalah sahabat Khodir adalah masalah ilmiah (akidah) dan bukan hukum amaliah (fikih) dan ini telah jelas. Hal tersebut dikuatkan oleh Imam Syafi’i –rohimahulloh- tatkala membuat pasal penting dalam Ar-Risalah di bawah judul: “Hujjah dalam mengesahkan khobar ahad.” Beliau menyebutkan banyak dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah (hal. 401-453) dan itu merupakan dalil-dalil mutlak atau umum meliputi masalah khobar ahad juga merupakan hujjah dalam masalah akidah. Demikian juga perkataan beliau dalam masalah ini sifatnya umum. Kemudian beliau mengakhiri pembahasan ini dengan mengatakan: “Sebagian hadits-hadits dalam masalah ini cukup untuk mengesahkan khobar wahid. Demikianlah senantiasa jalan para ulama salaf kita dan generasi-generasi setelah mereka sampai sekarang. Begitu juga telah menghikayatkan kepada kami dari orang yang menghikayatkan darinya bahwasanya ahlul ilmi di berbagai negeri demikian halnya.”
Begitu juga perkataan beliau pada halaman 457: “Andaikan dibolehkan bagi seorang manusia untuk berucap dalam ilmu yang khusus bahwa kaum muslimin telah bersepakat, baik dari zaman dahulu sampai sekarang untuk mengesahkan dan berhenti pada khobar wahid, tidaklah diketahui dari seorang pun dari para ahli fikih Islam melainkan ia telah mengesahkannya, maka hal itu diperbolehkan untuk saya. Akan tetapi saya katakan bahwasanya saya tidak menghafal dari para ahli fikih Islam bahwa mereka itu berselisih dalam masalah pengesahan khobar ahad.”
Pendapat mengenai tidak diperbolehkan berdalil dengan hadits ahad dalam masalah akidah adalah kebid’ahan yang diada-adakan:
Secara keseluruhan dalil-dalil Al-Kitab dan As-Sunnah dan amalan para sahabat serta perkataan-perkataan ulama menunjukkan secara pasti atas apa yang kami kemukakan mengenai wajibnya mengambil hadits ahad di setiap bab-bab syariat, baik itu masalah akidah ataupun amaliyah dan membedakan antara keduanya adalah kebid’ahan tidak diketahui oleh salaf.
Oleh karena itu, Al-‘Allamah Ibnul Qoyyim –rohimahulloh- (3/412) mengatakan: “Pembedaan antara keduanya ini adalah batil menurut ijma’ umat. Sesungguhnya hadits-hadits tersebut (hadits ahad) masih terus dijadikan sebagai hujjah dalam masalah khobariyah ilmiyah (yaitu perkara akidah) sebagimana dijadikan hujjah pula dalam perkara tholabiyah amaliyah (hukum fikih), apalagi hukum-hukum amaliyahmengandung pemberitaan dari Alloh bahwasanya Dia mensyariatkan begini dan begitu, mewajibkan dan meridhoinya sebagai bagian dari agama. Maka syariat dan agama-Nya kembali kepada nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Para sahabat, tabi’in dan tabi’ut-tabiin serta ahlul hadits dan sunnah senantiasa berhujjah dengan khobar ahad ini dalam masalah-masalah asma’ wa sifat, qodar dan ahkam. Sama sekali tidak ada ternukil dari mereka tentang bolehnya berhujjah dengannya dalam masalah ahkam saja dan tidak boleh dalam masalah khobar dari Alloh dan asma wa shifat. Apakah ada ulama salaf yang membedakan antara kedua permasalahan tersebut? Betul, salaf mereka adalah orang-orang belakangan dari kalangan ahli kalam (filsafat) yang tidak mempunyai perhatiaan dengan wahyu yang datang dari Alloh dan Rosul-Nyashollallohu ‘alaihi wa sallam- serta para sahabat beliau. Akan tetapi mereka menutup pintu-pintu hati dari mengambil petunjuk dalam bab ini dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta perkataan para sahabat, lalu merujuk kepada pemikiran-pemikiran ahli kalam dan kaidah-kaidah mereka yang dipaksakan. Dari merekalah munculnya pembedaan antara keduanya tersebut…. Lalu mereka menyuarakan bahwa perkara itu adalah ijma’ dan tidak diketahui dari seorang imam pun dari ulama Islam serta tidak pula diketahui dari seorang sahabat dan juga tabi’in…
Maka kami menuntut mereka untuk mendatangkan pembedaan yang benar untuk membedakan antara perkara yang boleh ditetapkan dengan khobar ahad dengan perkara yang tidak boleh ditetapkan dengannya. Mereka tidaklah mungkin bisa mendatangkan hal tersebut, kecuali hanyalah dengan pengakuan batil… seperti ucapan sebagian dari mereka: “Perkara ushul (pokok) adalah masalah ilmiyah (keyakinan/akidah) dan perkara furu’ (cabang) adalah masalah amaliyah (amalan/fikih). Pembagian ini juga batil, karena yang dituntut dalam masalah fikih adalah ilmu dan amalan. Begitu pula halnya yang dituntut dalam masalah akidah adalah juga ilmu dan amalan, baik itu berupa kecintaan hati dan kebenciaannnya serta kecintaannya terhadap apa yang ditunjukkan oleh Al-Haq dan makna yang terkandung di dalamnya serta kebencian terhadap kebatilan yang menyelisihi Al-Haq.
Maka amalan itu tidak terbatas pada amalan anggota tubuh saja, tetapi juga mencakup amalan hati. Amalan hati adalah sumber dan amalan anggota tubuh, sedangkan amalan anggota badan mengikutinya. Maka setiap masalah ilmiyah (akidah) itu diikuti dengan adanya keyakinan, pembenaran serta kecintaan hati dan bahkan itu adalah pokok setiap amalan. Permasalahan ini banyak dilalaikan oleh ahli kalam (filsafat) dalam masalah keimanan, ketika mereka menyangka bahwa hal tersebut cukup dengan pembenaran hati semata tanpa adanya suatu amalan.
Ini merupakan salah satu kesalahan besar dan fatal. Kebanyakan orang kafir dulunya betul-betul meyakini akan kejujuran Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dengan tanpa keraguan sedikit pun. Akan tetapi pembenaran mereka itu tidak dibarengi dengan amalan hati berupa kecintaan akan risalah yang beliau bawa dan ridho dengannya serta berloyalitas untuk membela dan memusuhi lawan beliau. Maka janganlah kamu menganggap remeh perkara tersebut, karena hal itu sangat penting untuk mengetahui hakikat keimanan.
Maka masalah-masalah ilmiyah adalah juga amaliyah dan masalah-masalah amaliyah adalah juga ilmiyah. Hal itu karena syariat tidak mencukupkan diri dengan amalan semata tanpa ilmu dan sebaliknya masalah amaliyah tidak cukup dengan ilmu saja tanpa amalan.”
Maka telah tetaplah dari perkataan Ibnul Qoyyim -rohimahulloh- tersebut bahwasanya pembedaan tersebut di samping merupakan kebatilan menurut ijma’ karena menyelisihi tuntunan salaf dan dalil-dalil yang telah jelas, hal itu juga batil dari sisi penggambaran orang yang membedakannya dengan menganggap tidak diperlukannya ilmu dalam amalan dan juga amalan dalam ilmu. Ini merupakan poin yang sangat penting bagi seorang mu’min untuk bisa memudahkannya dalam memahami pokok permasalahan ini dengan baik dan menambah keimanan secara yakin akan rusaknya pembedaan tersebut.
Saya katakan: telah nampak secara jelas manhaj (metode) salafush-sholeh dalam menerima khobar tsiqqoh dan pendapat akan kewajiban untuk menerimanya dan hujjah telah tegak dengannya. Orang yang menyelisihi manhaj ini adalah mubtadi’ (ahli bid’ah). Hukum pembid’ahan ini bersumber dari para imam ahli fikih dan hadits sebagaimana yang telah dinukil oleh Ibnu Abdil Barr –rohimahulloh-.
Al-Albani –rohimahulloh- mengatakan sebagai ringkasan dari pembahasan beliau mengenai wajibnya menerima khobar ahad: “Kesimpulannya, bahwa dalil-dalil dari Al-kitab dan As-Sunnah serta amalan sahabat serta perkataan-perkataan para ulama menunjukkan secara pasti atas apa yang kami uraikan mengenai wajibnya mengambil hadits ahad dalam seluruh bidang syari’at, baik itu dalam masalah akidah maupun amalan. Adapunn pembedaan antara keduanya (akidah dan amalan) adalah kebid’ahan yang tidak pernah dikenal di zaman salaf. Oleh karena itu, Al-‘Allamah Ibnul Qoyyim –rohimahulloh- dalam(3/412) mengatakan: “Pembedaan antara keduanya ini adalah batil menurut ijma’ umat. Sesungguhnya hadits-hadits tersebut (hadits ahad) masih terus dijadikan sebagai hujjah dalam masalah khobariyahilmiyah (yaitu perkara akidah) sebagaimana dijadikan hujjah pula dalam perkara tholabiyah amaliyah(hukum fikih)….dst.”
Maka madzhab Al-Halabi lebih jelek daripada madzhab ahlul bid’ah dari kalangan ahli kalam (filsafat) dan selain mereka dalam permasalahan ini, karena mereka masih menerima khobar tsiqoh dalam perkara amaliyah (fikih) walaupun dalam masalah ilmiyah (akidah) mereka tidak menerimanya. Sedangkan Al-Halabi meragukan khobar tsiqoh secara mutlak dan menambahkannya dengan syubhat-syubhat yang mungkin tidak terbetik di benak-benak ahlul bid’ah yang sesat.
Mana hubungan dan kedekatan Al-Halabi ini dengan Al-‘Allamah Al-Albani yang membela As-Sunnah, terutama dalam masalah khobar ahad?! Maka Al-Albani berada di suatu lembah, sedangkan Al-Halabi berada di lembah yang lain.
Mana kedekatannya dengan salaf dan manhaj mereka?! Mereka berada di satu lembah, sedangkan Al-Halabi berada di lembah lain.
Bukan dalam permasalahan ini saja, tapi juga di beberapa medan lain yang lebih berbahaya dari ini.
Apakah tercela orang yang menghukumi Al-Halabi sebagai mubtadi’ dan orang-orang yang semisal dengannya menurut pandangan orang-orang yang menghormati manhaj salaf? Jawabannya: tentu tidak, sama sekali tidak… Apalagi setelah para ahli fikih dan hadits telah bersepakat dalam menghukumi orang seperti dia ini sebagai mubtadi’, yang dikuatkan oleh perkataan Al-‘Allamah Al-Albani –rohimahulloh- sebagaimana yang baru saja telah kami kedepankan.
[1] Lihat artikel “NASEHAT GAMBLANG (revisi) di www.ahlussunnah.web.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar