بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول لله وعلى آله وصحبه ومواله، أما بعد
Rasa sedih dan prihatin menyelimuti hati ini, ketika mendengar gunung berapi Kelud meletus kembali dan berbagai musibah yang menimpa sebagian saudara-saudara kita di tanah air tercinta… Meskipun demikian, tidaklah kita mengucapkan dan melakukan sesuatu, melainkan sesuatu yang diridhoi Robb kita subhanahu wa ta’ala dan tidak mendatangkan kemurkaan-Nya baik di dunia maupun akhirat kelak setelah dihancurkannya alam semesta… Maka pada kesempatan yang singkat ini akan disampaikan beberapa perkara yang dengan pertolongan Alloh ta’ala dan taufiq-Nya semata dapat dijadikan sebagai ibroh dan renungan serta penghibur jiwa bagi yang tengah dirundung derita…
Musibah Merupakan Ketetapan Allah ta’ala Semata
Segala bentuk kenikmatan yang diberikan oleh Alloh ta’ala kepada hamba-Nya dan musibah serta kesengsaraan yang menimpa makhluk-Nya baik yang kecil maupun besar, semuanya telah tertulis dalam lauhul mahfudz, sebuah kitab di sisi-Nya yang berisi seluruh kejadian yang ada di langit dan bumi. Ini adalah perkara yang agung, tidaklah mampu akal-akal kita untuk menjangkaunya, akan tetapi alangkah mudahnya hal itu bagi Penguasa alam semesta. Alloh subhanahu wa ta’ala telah mengabarkan hal itu kepada kita:
ما أصاب من مصيبة في الأرض ولا في أنفسكم إلا في كتاب من قبل أن نبرأها إن ذلك على الله يسير
“Musibah apapun yang menimpa kalian -wahai manusia dan jin- baik yang nampak di muka bumi ini maupun pada diri-diri kalian berupa penyakit-penyakit, rasa lapar dan sakit itu melainkan telah tertulis semuanya dalam lauhul mahfudz sebelum makhluk itu diciptakan. Sesungguhnya hal itu amatlah mudah bagi Alloh ta’ala.” (Tafsir QS. Al-Hadid: 22)
قل لن يصيبنا إلا ما كتب الله لنا هو مولانا وعلى الله فليتوكل المؤمنون
“Katakanlah -wahai Nabi-: “Tidak akan menimpa kami suatu musibah atau bencana apapun, kecuali apa yang telah ditetapkan oleh Alloh bagi kami di lauhul mahfudz. Dialah penolong kami dan kepada Allohlah semata hendaknya orang-orang mu’min itu bertawakkal dalam rangka mendapatkan kemanfaatan dan menolak kemudhorotan.” (Tafsir QS. At-Taubah: 51)
Tidaklah Alloh ta’ala mengabarkan yang demikian itu, melainkan agar kita tidak berputus asa atas apa yang telah hilang dan terlewatkan dari hal-hal yang disukai oleh jiwa serta merasa tamak dan bersemangat untuk mendapatkannya. Hal itu karena seorang hamba itu telah mengetahui dan memahami bahwa semua itu telah ditakdirkan, sehingga mau tidak mau hal itu harus terjadi dan tidak bisa untuk dihindarkan lagi. Sebaliknya, dengan itu seorang hamba tidaklah merasa sombong dan congkak terhadap apa yang telah diraihnya di dunia ini, karena dia sadar dan mengerti bahwa tidaklah hal itu diraih dan didapatkan semata-mata karena kemampuan dan kekuatannya, akan tetapi hanyalah dengan pertolongan Alloh ta’ala dan keutamaan-Nya. Sehingga dengan demikian, ia akan bersyukur serta memperbanyak dzikir kepada Dzat pemilik kenikmatan dan penolak malapetaka. Alloh ta’ala menerangkan pada ayat selanjutnya:
لكيلا تأسوا على ما فاتكم ولا تفرحوا بما آتاكم والله لا يحب كل مختال فخور
“Hal itu supaya kalian tidak bersedih hati terhadap apa yang hilang atau terlepas dari perkara dunia dan tidak sombong serta congkak terhadap apa yang didapatkan. Alloh tidak menyukai setiap orang yang sombong lantaran apa yang telah ia dapatkan dari perkara dunia serta merasa tinggi diri dari yang lain.” (Tafsir QS. Al-Hadid: 23)
Inilah salah satu perkara aqidah yang wajib tertanam pada setiap lubuk hati muslim, bahwa seluruh musibah yang tejadi, baik terhadap jiwa, harta, keluarga, anak-anak, handai taulan dan selain mereka, semuanya itu telah ditetapkan dengan qodho’ dan qodar Alloh ta’ala, telah didahului oleh ilmu Alloh dan tertulis serta sesuai dengan kehendak dan hikmah-Nya yang agung.
Apa Yang dilakukan Seorang Muslim dalam Menghadapi Hal ini
Yang penting adalah apakah seseorang itu telah melakukan dan memenuhi kewajibannya ketika mengalami suatu musibah atau tidak? Siapa yang memenuhinya, maka baginya pahala dan kebaikan yang besar di dunia dan akhirat. Siapa yang beriman bahwasanya itu dari sisi Alloh dan menerimanya serta menyerahkan urusannya kepada-Nya, maka Alloh akan memberikan hidayah kepada hatinya sehingga merasa tenang serta tidak gelisah atau cemas dan dapat bersabar. Ia akan mendapatkan ganjaran di dunia dan apa yang telah dijanjikan untuknya di hari pembalasan. Firman Alloh:
ما أصاب من مصيبة إلا بإذن الله ومن يؤمن بالله يهد قلبه والله بكل شيء عليم
“Apa yang menimpa seseorang dari suatu musibah yang dibenci, melainkan dengan izin Alloh serta qodho’ dan qodar-Nya. Siapa yang beriman kepada Alloh, niscaya Dia akan memberi petunjuk pada hatinya untuk menerima dan ridho terhadap perkara tersebut serta memberinya petunjuk untuk mengucapkan sebaik-baik perkataan, melakukan sebaik-baik pekerjaan dan memberikan pada dirinya sebaik-baik keadaan. Hal itu karena asal dari suatu hidayah itu adalah di hati, selanjutnya anggota badan akan mengikutinya. Alloh itu ‘Aliim yang maha mengetahui segala sesuatu, tidak tersamar dari-Nya sedikitpun.” (Tafsir QS. At-Taghobun: 11)
Sebaliknya, siapa yang tidak beriman kepada Alloh ketika tertimpa musibah, tidak memandang qodho’ dan qodar-Nya, akan tetapi hanya mengandalkan kemampuan dan usaha dirinya, maka Alloh tidak akan menolongnya dan membiarkan dirinya. Dengan demikian, tidaklah tersisa pada dirinya kecuali perasaan gelisah, cemas, putus asa serta berkeluh kesah yang itu merupakan hukuman dan adzab yang disegerakan di dunia sebelum adzab akhirat nanti. Wal ‘iyadzu billah…
Ujian Seorang Hamba
Alloh tabaroka wa ta’ala pasti akan menguji hamba-Nya dengan berbagai musibah dan cobaan. Itu semua untuk membuktikan siapa yang jujur dan siapa yang dusta, siapa yang sabar dari orang-orang yang berkeluh kesah serta siapa yang beriman dari orang-orang munafik. Alloh ta’ala berfirman:
الم * أحسب الناس أن يتركوا أن يقولوا آمنا وهم لا يفتنون * ولقد فتنا الذين من قبلكم فليعلمن الله الذين صدقوا وليعلمن الكاذبين
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira ketika mereka mengatakan, “Kami telah beriman,” bahwa Alloh akan meninggalkan mereka tanpa ujian dan cobaan? Sungguh telah Kami uji orang-orang sebelum mereka yang telah diutus kepada mereka para Rosul, agar Alloh membuktikan secara nyata bagi makhluk-Nya mana orang-orang yang benar-benar jujur dalam imannya dan mana yang dusta agar dapat dibedakan antara satu dengan lainnya.” (Tafsir QS. Al-‘Ankabut: 1-3)
Ini sudah merupakan sunnatulloh dalam kehidupan seorang hamba, karena jika tidak demikian, maka akan tercamur dan tersamarlah antara ahlul iman dengan ahlul fasad. Ini adalah faedah dari suatu ujian dan cobaan, bukanlah bertujuan untuk menghilangkan iman orang-orang sholeh atau untuk mengeluarkannya dari agamanya. Tidaklah Alloh subhanahu wa ta’ala menyia-nyiakan iman dan pahala orang-orang yang beriman.
Ketika Alloh ta’ala memberikan cobaan kepada seorang hamba dengan sedikit rasa takut, lapar dan haus, kehilangan harta dan jiwa, maka itu sesuai dengan kadar keimanannya. Jikalau Alloh menguji hamba-Nya dengan seluruh rasa takut atau kemusnahan seluruh hartanya dan sebagainya, niscaya hamba itu akan binasa. Ujian dan cobaan itu hanyalah untuk memurnikan dan membersihkan jiwa, bukan untuk membinasakannya. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من يرد الله به خيرا يصب منه
“Siapa yang dikehendaki oleh Alloh kebaikan untuknya, maka Dia akan menimpakan musibah kepadanya untuk meneguhkan dan memurnikan jiwanya dari dosa-dosa.” (Hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu riwayat Bukhori)
ما يزال البلاء بالمؤمن والمؤمنة في نفسه وولده وماله حتى يلقى الله تعالى وما عليه خطيئة
“Senantiasa cobaan dan ujian itu menimpa muslim dan muslimah, baik pada diri, anak dan hartanya sampai ia bertemu Alloh ta’ala dalam keadaan tidak membawa satu kesalahan pun.” (Hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu riwayat Tirmidzi – hasan)
ما يصيب المسلم، من نصب ولا وصب، ولا هم ولا حزن ولا أذى ولا غم، حتى الشوكة يشاكها، إلا كفر الله بها من خطاياه
“Tidaklah apa yang menimpa seorang muslim berupa keletihan, penyakit, kegundahan, kesedihan, gangguan, kesusahan, sampai sebuah duri yang menusuknya, melainkan Alloh akan mengampuni dosa-dosanya lantaran hal itu.” (Hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu, muttafaqun ‘alaih)
Bersabarlah, wahai saudaraku…
Keadaan manusia ketika mengalami musibah itu dibagi menjadi empat tingkatan:
Pertama: berkeluh kesah dan gelisah, baik dalam hatinya seperti berkeluh kesah dan tidak menerima apa yang telah Alloh takdirkan kepadanya; atau dengan lisannya seperti seruan-seruan, rintihan-rintihan kecelakaan serta kebinasaan dan sebagainya atau dengan anggota badannya seperti menampar pipi, merobek-robek baju dan sebagainya. Maka ini hukumnya harom dan termasuk sunnah jahiliyah. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ليس منا من ضرب الخدود وشق الجيوب ودعا بدعوى الجاهلية
“Bukan termasuk golongan kami siapa yang menampar-nampar pipi, merobek-robek pakaian ketika tertimpa musibah dan menyeru dengan seruan jahiliyah.” (Hadits Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu, muttafaqun ‘alaih)
Kedua: bersabar ketika tertimpa musibah. Maka ia akan melihat bahwa musibah itu berat baginya dan membencinya. Akan tetapi dia bisa menahannya dan bersabar atasnya serta menjaga keimanannya dari sikap berkeluh kesah. Ini hukumnya wajib, merupakan perintah Alloh ta’ala dalam kisah Luqman Al-Hakim:
يا بني أقم الصلاة وأمر بالمعروف وانه عن المنكر واصبر على ما أصابك إن ذلك من عزم الأمور
“Wahai anakku, tegakkanlah sholat secara sempurna dengan memenuhi rukun-rukun, syarat-syarat dan kewajiban-kewajibannya. Perintahkanlah kepada yang ma’ruf dan laranglah dari kemungkaran dengan lemah lembut dan hikmah sesuai dengan kemampuanmu. Bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya wasiat ini termasuk apa yang diperintahkan Alloh dan hendaknya dipenuhi dengan kesungguhan.” (Tafsir QS. Luqman: 17)
Ketiga: ridho terhadap musibah yang menimpanya. Ini lebih tinggi derajatnya dari sabar, yaitu bahwa adanya musibah dengan tidak adanya, maka hal itu sama saja baginya, dikarenakan keridhoannya terhadap Robbnya subhanahu wa ta’ala. Ini hukumnya mustahab.
Keempat: bersyukur. Ini adalah derajat tertinggi, yaitu dengan bersukur kepada Alloh atas musibah yang menimpanya, sehingga ia termasuk hamba-hamba-Nya yang bersyukur, karena telah mengetahui bahwa musibah ini sebagai sebab diampuni dosa-dosanya atau diangkat derajatnya atau ditambahkan kebaikannya. Ini termasuk kenikmatan. Dia bersyukur kepada Alloh ta’ala atas hal itu semua.
Jika seseorang belum melakukan kesalahan kemudian tertimpa musibah, maka ini termasuk dalam bab ujian kesabaran dan mengangkat derajatnya di sisi Alloh dengan mengharapkan pahala darinya.
Siapa yang berkeluh kesah dan gelisah serta tidak bersabar ketika tertimpa bencana, maka akan mendapatkan dua kerugian:
Pertama: hilangnya apa yang ia sukai di dunia dengan adanya musibah tersebut.
Kedua: hilangnya apa yang lebih besar dari itu yaitu pahala besar yang dijanjikan untuk orang yang sabar. Sehingga ia menderita kerugian yang besar dan berkuranglah keimanannya.
Adapun orang yang diberikan taufiq oleh Alloh ta’ala untuk bersabar ketika tertimpa bencana, maka ia akan menahan dirinya dari kemarahan baik berupa ucapan ataupun perbuatan dan mengharapkan pahalanya di sisi Alloh. Dia sadar dan mengerti bahwa apa yang akan ia peroleh dari pahala sabarnya itu lebih besar dan menguntungkan daripada musibah yang ia alami. Sehingga dengan demikian, musibah atau bencana tersebut berbalik menjadi suatu kenikmatan bagi dirinya, karena hal itu menjadi jalan untuk memperoleh apa yang lebih baik dan bermanfaat. Ia telah menunaikan perintah Alloh ketika itu dan mendapatkan kemenangan dengan pahala yang besar tanpa hisab. Alloh ta’ala mengabarkan:
إنما يوفى الصابرون أجرهم بغير حساب
“Orang-orang yang bersabar itu hanyalah akan diberikan kepada mereka pahala yang tidak terhitung banyaknya di akhirat sebagai pemuliaan terhadap orang-orang yang beriman.” (Tafsir QS. Az-Zumar: 10)
Mereka orang-orang yang bersabar ketika tertimpa musibah yang menyakitkan hati serta badan atau menyakitkan kedua-duanya itu menyadari bahwa dirinya adalah seorang hamba milik Alloh, tunduk terhadap perintah dan perkaranya, tidak memiliki dirinya sedikitpun. Jika Alloh Arhamur-rohimin berbuat sesuatu terhadap dirinya, maka itu hanyalah berbuat terhadap hamba dan makhluk-Nya, sehingga tidak ada penentangan pada-Nya. Alloh ta’ala lebih menyayangi hamba-Nya daripada hamba itu sendiri terhadap dirinya. Maka sepantasnya bagi seorang hamba untuk menerima dan mensyukuri apa yang telah Alloh takdirkan dan lakukan.
Setiap hamba itu akan kembali kepada Robb-Nya. Jika ia sabar dan mengharapkan pahala, maka akan menemukan bagiannya secara sempurna di sisinya. Sebaliknya, jika ia berkeluh kesah dan murka, maka tidaklah ia mendapatkan bagian, kecuali kemurkaan dan terluput dari pahala. Jadi jika seseorang itu mengetahui bahwasanya ia adalah milik Alloh dan akan kembali ke hadirat-Nya, maka hal itu merupakan sekuat-kuat sebab agar ia dapat bersabar ketika tertimpa musibah.
Juga balasan bagi orang-orang yang bersabar adalah pujian-pujian dari Robb mereka serta rahmat dan hidayah-Nya, sebagaimana firman Alloh ta’ala:
ولنبلونكم بشيء من الخوف والجوع ونقص من الأموال والأنفس والثمرات وبشر الصابرين * الذين إذا أصابتهم مصيبة قالوا إنا لله وإنا إليه راجعون * أولئك عليهم صلوات من ربهم ورحمة وأولئك هم المهتدون
“Sungguh kami akan uji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan, kehilangan harta serta kesulitan untuk mendapatkannya dan ujian yang berkaitan dengan jiwa baik kematian atau mati syahid di jalan Alloh serta kekurangan buah-buahan. Berilah kabar gembira –wahai Nabi- bagi orang-orang yang bersabar atas keadaan ini dengan apa yang menyenangkan dan menggembirakan mereka, yaitu akibat yang baik bagi mereka di dunia dan akhirat. Diantara sifat mereka adalah jika tertimpa musibah atau sesuatu yang tidak disukai, mereka mengatakan, “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un” (Sesungguhnya kami ini adalah hamba-hamba Alloh dan milik-Nya, tunduk dengan aturan-Nya. Alloh memperlakukan kami sesuai dengan kehendak-Nya, lalu kami akan kembali kepada-Nya setelah kematian. Kemudian dibangkitkan nanti untuk perhitungan dan balasan amalan). Mereka orang-orang yang bersabar itu dipuji oleh Robb mereka, mendapatkan rahmat yang besar dari-Nya serta mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk kepada jalan yang benar.” (Tafsir QS. Al-Baqoroh: 155-157)
Faedah-faedah yang ada di setiap musibah dan bencana
Pada setiap musibah dan bencana terdapat beberapa faedah yang sepantasnya disyukuri oleh seorang hamba:
Pertama: musibah apapun yang terjadi, maka Alloh berkuasa untuk menjadikannya lebih besar dari yang ada. Maka seseorang hendaknya bersyukur bahwa Alloh ta’ala karena tidak menjadikannya lebih besar lagi. Siapa yang telah kehilangan sebagian hartanya dalam suatu musibah, maka hendaknya ia bersyukur kepada Alloh bahwa hartanya tidak hilang semuanya.
Kedua: bersyukur bahwa musibah itu hanya menimpa harta benda dunia dan jiwa, bukan menimpa agamanya.
Ketiga: bersyukur bahwa musibah itu disegerakan di dunia. Musibah duniawi lebih ringan dan sifatnya sementara. Berbeda dengan musibah di akherat, berlangsung selama-lamanya dan sangat pedih.
Keempat: musibah itu telah tertulis di sisi Alloh ta’ala, maka hal itu harus terjadi dan telah dialaminya. Maka itu termasuk kenikmatan, sehingga hendaknya diterima dan bersyukur atasnya untuk mendapatkan pahala yang lebih besar.
Kembalilah kepada Robbmu dan bertaubatlah…
Telah dipahami bahwa apa yang menimpa manusia berupa malapetaka, kesusahan dan sebagainya itu datangnya dari Alloh ta’ala. Akan tetapi hal itu bukanlah sekedar kejadian biasa yang semata-mata merupakan tabiat alam -sebagaimana yang diucapkan oleh orang-orang yang menyimpang dari jalan yang lurus-, melainkan disebabkan ulah manusia itu sendiri yang terjatuh dalam dosa-dosa yang ia perbuat. Maka dengan itu Alloh ta’ala menghukum seorang hamba lantaran hal itu. Firman Alloh ta’ala:
ظهر الفساد في البر والبحر بما كسبت أيدي الناس ليذيقهم بعض الذي عملوا لعلهم يرجعون
“Timbulnya kerusakan di daratan dan lautan, baik berupa paceklik, sedikitnya hujan, banyaknya wabah penyakit serta terjadinya bencana-bencana alam, semua itu disebabkan kemaksiatan-kemaksiatan yang dilakukan manusia sebagai hukuman atas perbuatan mereka di dunia. Hal itu supaya mereka bertaubat kepada Alloh subhanahu wa ta’ala dan meninggalkan kemaksiatan, sehingga menjadi lebih baiklah keadaan mereka dan menjadi luruslah perkara-perkara mereka.” (Tafsir QS. Ar-Rum: 41)
ما أصابك من حسنة فمن الله وما أصابك من سيئة فمن نفسك
“Apa yang telah menimpamu –wahai manusia- dari kebaikan dan kenikmatan, maka itu datangnya dari Alloh ta’ala semata sebagai bentuk kebaikan dari-Nya. Sedangkan apa yang menimpamu dari kesusahan dan kesengsaraan, maka itu disebabkan oleh amalan jelekmu dan apa yang dilakukan oleh tangan-tanganmu dari kesalahan-kesalahan dan perbuatan dosa.” (Tafsir QS. An-Nisa: 79)
Meskipun demikian, Alloh ta’ala maha pengampun dan tidak mendholimi hamba-Nya, akan tetapi hamba itu sendirilah yang mendholimi dirinya sendiri. Firman Alloh ta’ala:
وما أصابكم من مصيبة فبما كسبت أيديكم ويعفو عن كثير
“Apa yang menimpa kalian –wahai manusia- dari musibah pada agama dan dunia kalian, maka itu akibat perbuatan-perbuatan dosa yang telah kalian lakukan dan Alloh Robb kalian akan mengampuni banyak dari kesalahan-kesalahan tersebut, sehingga kalian tidak dihukum karenanya.” (Tafsir QS. Asy-Syuro: 30)
Sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits qudsi:
يا عبادي إني حرمت الظلم على نفسي، وجعلته بينكم محرما، فلا تظالموا، …، يا عبادي إنكم تخطئون بالليل والنهار، وأنا أغفر الذنوب جميعا، فاستغفروني أغفر لكم – الحديث
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharomkan kedholiman atas diri-Ku dan Aku jadikan hal itu harom atas kalian, maka janganlah kalian saling mendholimi satu dengan lainnya… Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian melakukan kesalahan di waktu siang dan malam, sedangkan Aku mengampuni dosa-dosa kalian semuanya. Maka mintalah ampun kepada-Ku dan bertaubatlah, niscaya Aku akan mengampuni dosa-dosa kalian…” (Dari hadits Abu Dzar rodhiyallohu ‘anhu yang panjang riwayat Muslim)
Oleh karena itu, maka diserukan kepada kaum muslimin semuanya untuk kembali kepada Alloh ta’ala, merenungi kesalahan diri-diri mereka dan segera bertaubat kepada Alloh ta’ala dengan sebenar-benar taubat dan memperbaiki amalan-amalannya dengan didasarkan pada ajaran tauhid yang murni dan sunnah yang suci, sehingga dengan hal itu terwujudlah kesejahteraan dan kebaikan hidup di dunia ini. Sebaliknya, hendaknya menjauhi kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan yang itu merupakan sumber mala petaka dan bencana serta penyebab terbesar kerusakan alam semesta. Alloh ta’ala berfirman:
ولو أن أهل القرى آمنوا واتقوا لفتحنا عليهم بركات من السماء والأرض ولكن كذبوا فأخذناهم بما كانوا يكسبون
“Sekiranya penduduk suatu negeri itu membenarkan para Rosul yang diutus kepada mereka dan mengikuti ajaran mereka serta menjauhi apa yang dilarang oleh Alloh bagi mereka, niscaya Alloh akan membukakan untuk mereka pintu-pintu kebaikan dari segala sisi. Akan tetapi mereka telah mendustakannya, maka Alloh menghukum mereka dengan adzab yang membinasakan lantaran kekufuran dan kemaksiatan mereka.” (Tafsir QS. Al-A’rof: 96)
وتوبوا إلى الله جميعا أيها المؤمنون لعلكم تفلحون
“Kembalilah kalian untuk bertaubat –wahai orang-orang yang beriman- menuju ketaatan kepada Alloh terhadap apa-apa yang telah diperintahkan atas kalian berupa sifat-sifat terpuji dan akhlak yang mulia dan tinggalkanlah apa-apa yang telah diperbuat orang-orang jahiliyah berupa akhlak dan sifat yang tercela supaya kalian memperoleh kemenangan dan kebaikan dunia serta akhirat.” (Tafsir QS. An-Nur: 31)
والحمد لله رب العالمين
Ditulis oleh: Mushlih bin Syahid Abu Sholeh Al-Madiuniy –waffaqohulloh-
di Masjid As-Sunnah Sa’wan-Shon’a, pada hari Ahad; 14 Robi’uts-tsani 1435 H.
Pustaka:
- Al-Quranul Karim dengan At-Tafsir Al-Muyassar oleh sekumpulan ‘ulama tafsir; terbitan Majma’ Al-Malik Fahd lit-Thiba’atil Mushhaf as-Syarif, Saudi Arabia; cet. 2 th. 1430 H.
- Mausu’ah Fiqh Al-Qulub oleh Muhammad bin Ibrohim bin Abdillah At-Tuwaijiriy; terbitan Baitul Afkar Ad-Dauliyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar