بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله، أحمده وأستعينه وأستغفره. وأشهد أن لا إله إلا الله، وأشهد أن محمدا عبد الله ورسوله. أما بعد
Maka sesungguhnya termasuk karunia dari Alloh Ta’ala terhadap seseorang yang berupaya memberikan yang terbaik kepada dirinya dan kepada umat adalah mempelajari dan menda’wahkan As-Sunnah dan menjauhi serta mewaspadai segala bentuk penyelisihan terhadap syari’at dan segala ke-muhdatsaat-an (perkara baru dalam agama):
…..لا خير في كثير من نجواهم إلا من أمر بصدقة أو معروف أو اصلاح بين الناس
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan dari pembicaraan rahasia mereka melainkan bagi orang yang menyeru untuk bersedekah, berbuat kebaikan dan mendamaikan di antara manusia….”.
Beranjak dari ayat yang mulia ini maka kami akan menjelaskan tentang perkataan kami bersifat umum, yang lafazhnya:
“……… Dengan ini kita katakan dengan seterang-terangnya dan sejelas-jelasnya, bila masih didapati ada dari da’i yang mengaku sebagai Ahlissunnah namun menda’wahkan TN atau membelanya atau bekerjasama untuk kepentingan TN itu maka sungguh dia adalah “mufsid” (pembuat kerusakan), “shohibu hawa” (pengekor hawa nafsu) dan “mubtadi’” (pembuat kebid’ahan), walaupun dia mengaku berdiri di belakang ulama atau merasa memiliki ulama atau walaupun dia ditazkiyah dan didukung oleh ulama tetap keadaannya seperti itu:
{فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ} [يونس : 32]
“Maka tidaklah setelah kebenaran itu melainkan kesesatan”. (Yunus: 32)”.
Maka kami akan menyebutkan rincian tentang ucapan yang bersifat global itu:
Bahwasanya seseorang pantas menyandang hukum yang kami sebutkan itu bila terdapat perkara-perkara berikut ini:
1. TN (Tarbiyatun Nisa’) atau MN (Ma’hadun Nisa’) atau Pondok Wanita yang dia miliki seperti miliknya para sufiyyin dan yang semisal mereka, diantara bentuknya: -
a. Para ustadznya mengajar langsung para wanita dengan tanpa dinding pembatas, baik dengan mendengarkan bacaan tajwidnya atau semisalnya.
b. Para ustadznya mengajak para santriwati rekreasi ke gunung, ke sungai atau ke tempat wisata lainnya.
2. Keadaan pondoknya semisal pondok para Biarawati.
3. Menentang dan menolak hujjah dan dalil-dalil tentang tarbiyyah salafiyyah yang jauh dari mukholafaat (penyelisihan-penyelisihan) dan muhdatsaat (perkara-perkara baru dalam agama).
Demikian keterangan ini kami rincikan.
Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy Darul Hadits Baihan Sana’a.
MENYOAL TANYA JAWAB
Tanya: Ada yang menyatakan bahwa antum telah dilarang oleh dua orang Syaikh untuk menjawab pertanyaan, apa tanggapan antum tentang masalah ini?.
Jawab: بسم الله الرحمن الرحيم Dengan pertanyaan ini mengingatkan kita dengan perkataan para hizbiyyun:
“Al-‘Allamah Asy-Syaikh Al-Fadhil Muhammad bin Abdil Wahhab Al-Washobiy telah melarang Yahya Al-Hajuriy untuk memberi fatwa, yang memberi fatwa khusus ulama kibar semisal Asy-Syaikh Al-Imam, Al-Buro’iy, Al-‘Adniy atau orang-orang yang mereka tunjuk, adapun Yahya dan Abdul Hamid Al-Hajuriy dan orang-orangnya tidak boleh berfatwa”.
Apakah Syaikhuna Yahya dan Abdul Hamid Al-Hajuriy mengikuti apa yang dikatakan oleh Al-Washobiy?. Walaupun Al-Washobiy merasa sebagai guru namun tidak berguna baginya.
Para hizbiyyun yang menyebarkan apa yang dikatakan oleh Al-Washobiy itu malah menunjukan kejelekan Al-Washobiy karena tidak membangun perkataannya di atas hujjah dan dalil.
Alhamdulillah Syaikhuna terus memberi fatwa, hal demikian itu karena beliau mengetahui pentingnya menyampaikan al-haq, hal ini sebagaimana beliau telah paparkan penjelasannya pada kajian kitab “Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi”.
Alhamdulillah perkara ini telah pula kami jelaskan di dalam kitab “Al-‘Ilmi”.
Dijawab oleh: Abu Ahmad Muhammad bin Salim Al-Limboriy ‘Afallohu ‘anhu. Click Image to Download Audio "Tidak akan bersatu dengan Kemuhdats-an"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar